Saturday, July 21, 2018

Pop Kosong


Seorang komedian bernama Trevor Noah, punya program bernama The Daily Show yang disiarkan rutin di youtube. Isinya komedi tentang sebuah berita yang sedang hangat buat dibahas. Tanggal 17 Juli lalu, Trevor bahas tentang kemenangan Perancis di piala dunia. Dengan gaya satir dia bilang:
“Africa won the world cup”
Pembawaan komedi seperti ini, ternyata dianggap serius oleh pemerintah Perancis. Duta besar Perancis untuk Amerika Serikat bahkan sampai bikin surat buat Trevor dan mengoreksi opininya di atas dengan penjelasan panjang lebar. Meski begitu, komedian asal Afrika Selatan yang masuk daftar 100 orang berpengaruh tahun 2018 versi majalah Times ini, bisa membalas semua protes yang dilayangkan Perancis. Sepertinya, candaan Trevor menyinggung dubes Gerard Araud karena semboyan fraternite, egalite, liberte seakan dimentahkan. Moto kebebasan, keadilan, persaudaraan memang jadi semacam Bhineka Tunggal Ika-nya Perancis sejak tahun 1880. 

Sayangnya, semangat konservatisme mengancam keberagaman di benua biru—seperti halnya virus penyeragaman merongrong toleransi di Indonesia. Menilik kondisi tadi, saya berkesimpulan bahwa, semboyan negara cuma utopia—meskipun setidaknya bisa jadi panduan juga. Dan paradoks itu bukan hanya terjadi di Perancis.
“Anakronisme lain politik Amerika Serikat adalah system electoral college. Di negara kampiun demokrasi terdepan dunia, pemilih tidak pernah bisa secara langsung memilih presiden mereka. Tiap empat tahun di awal bulan November, pemilih mencoblos dalam pilpres sejumlah orang yang akan mewakili satu negara bagian untuk duduk di electoral college yang kemudian mendapat tugas untuk memilih presiden baru.”
Kutipan kalimat di atas bukan saya ambil dari buku bertema utama politik, melainkan musik. Judulnya Pop Kosong Berbunyi Nyaring: 19 Hal yang Tidak Perlu Diketahui Tentang Musik, buatan wartawan The Jakarta Post sekaligus pemilik distributor musik Elevation Records. Kritikan terhadap sistem elektoral Negeri Paman Sam ia tuliskan dalam sebuah bab berjudul “This Heat, Deceit dan Penyakit Demokrasi”. This Heat adalah nama band avant-garde asal London. Deceit judul album terakhirnya—dari dua album dan satu minialbum. Dan kontennya, kritik untuk sang kampiun demokrasi dari lagu-lagu yang lahir di tahun 1981. Menariknya, penulis menganalisa bahwa lirik dari 29 tahun lalu itu masih relevan dengan realita Amerika hari ini.
“Serigala betina (she-wolf) yang disebut di baris terakhir tampaknya mengacu kepada kapitalisme yang menyusui pekerja, dan pada akhirnya membenturkan satu kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat lain; white supremacist melawan Black Lives Matter, media di pantai timur melawan redneck Amerika, para feminis progresif pendukung Hillary melawan kaum perempuan kelas pekerja yang memberi apologi bagi misoginisme Trump.”
Selain menganalisa lirik dan musik dengan realita kekinian, pengalaman pribadi penulis juga mewarnai pembahasan tentang sebuah musik. Saya paling suka ketika Taufiq secara sinikal menggambarkan hidup di usia 30an dalam judul The Thistysomethings Are Not Alright—titel ini diberi keterangan Extended Coda karena tidak ada di versi cetakan sebelumnya yang baru memuat 13 naskah. Tidak ada referensi musik yang dinukil di bagian ini, melainkan tawaran bahwa:
“Bagaimana  jika pilihan bagi generasi usia tiga puluhan sekarang adalah untuk berjalan lebih pelan. Bangun lebih siang, membaca buku lebih sering, menikmati lagu, lebih banyak berdiam dan berfikir.”
Selain analisa dan kontemplasi, buku ini tentu saja mengenalkan pembaca ke referensi musikal yang bisa jadi terasa menyegarkan. Namun, menemukan referensi musik di masa kini sudah semudah membuka tab baru di browser bukan? Resensi singkat di bagian punggung buku menuliskan: 
“satu-satunya nilai tambah yang bisa Anda dapatkan dari buku ini adalah bahwa semua pemain kelas bulu yang ditulis di buku ini (kecuali Dylan era akhir 1990an) ditemukan di masa pra-internet.” []

No comments:

Post a Comment