Saya membaca
Suku Dani alias Kaka Dani di film Kulari ke Pantai, sebagai simbolisasi asing
sekaligus ke-kita-an Papua. Maksudnya begini.
Jreng, jreng, jreng.
"Sa punya cerita..."
Kaka Dani di
film Kulari ke Pantai diperankan oleh pria bernama asli Suku Dani, yang uniknya
fasih berbicara dengan logat khas Papua. Dalam sebuah dialog, ia bercerita
tentang dirinya sendiri di kehidupan
nyata: lahir dan besar di Papua—tepatnya lahir di Jayapura dan besar di
Wamena. Makanya, ketika diajak berbahasa Inggris oleh Happy, dia bilang:
“Ade, sa pake bahasa inggris itu kalo di amerika sana.”
Nah di
kehidupan luar layar film, Suku Dani memang sekolah di Amerika, tepatnya di
Atlanta. Bahkan ketika syuting, Dani sambil mengerjakan
skripsinya. Fakta-fakta itu, bikin saya mikir bahwa kehadiran Dani dari
Papua ini menyiratkan simbol bahwa Papua dianggap asing—tampak ketika ia diajak
bicara bahasa asing oleh ‘orang indonesia’. Padahal dia orang Papua, bahkan
minta diajak berbahasa Indonesia. Dalam dialog di atas, saya juga berpikir
bahwa “Amerika” yang ia maksud—jika dikaitkan dengan penguasaan sumber daya
alam di sana—juga menyuarakan simbol tersendiri. Saya jadi ingat buku Semua
Untuk Hindia.
Semua Untuk Hindia
Akun
instagram penjual buku online aebookstore menulis bahwa:
“’endorsement’ Ariel Heryanto atas buku ini melalui kuliah umumnya tentang peran gerakan kiri terhadap kemerdekaan Indonesia memang tidak salah tempat.”
Saya setuju
dengan itu. Buktinya, saya langsung cari bukunya meskipun sebelumnya pernah
baca juga pujian untuk kumpulan cerpen karangan Iksaka Banu itu di
ulasan-ulasan koran. Apalagi setelah saya baca cerpen berjudul Teh dan Pengkhianat
di Koran Tempo. Nafsu membaca Semua Untuk Hindia menggebu-gebu—oke ekspresi ini
berlebihan. Sayangnya, ekspektasi saya sedikit patah karena membaca kata
pengantar bikinan Nirwan Dewanto di buku yang sama. Dia membocorkan ending kisah
berjudul “Gudang 012B”. Akhirnya, saya baca dari belakang. Mirip cara kita
nonton film Memento (Christopher Nolan, 2000).
Setelah baca
tulisan Iksaka Banu soal kehidupan prakemerdekaan, saya jadi berpikir tentang Indonesia
jika tanggal 17 Agutus 1945 proklamasi tidak pernah terjadi. Bisa jadi saya
punya teman main kelereng bernama Ujang, dengan mata biru dan rambut pirang. Atau
cinta monyet saya mungkin seorang gadis berbahasa sunda bernama Beatrice, tentu
saja deskripsi fisik serupa “Ujang-Ujangan” tadi. Meskipun, konsekuensinya bisa
saja berujung seperti romansa Soekarno dan Rika Meelhuysen. Atau malah jika “Indonesia
tidak merdeka”, saya bakal punya bupati bernama khas eropa yang menganggap warga
berkulit cokelat bukan manusia yang setara. Sekali lagi, saya musti setuju
dengan pendapat Ariel Heryanto tentang Semua Untuk Hindia:
Sejak terbitnya karya Buru oleh Pramoedya A. Toer di tahun 1980-an, inilah karya sastra Indonesia yang pertama dan mungkin satu-satunya yang secara radikal menjungkir-balik sejarah nasional.
Oke mari
sekarang kita kembali ke film Kulari ke Pantai. Intinya, saya senang berkenalan
dengan Suku Dani. Dia memenuhi imajinasi saya bahwa Indonesia bisa lebih
beragam dan seru dengan kehadiran orang kaukasian. Saya juga bahagia dengan
fakta bahwa dari Bali ada seorang remaja bule berbahasa Indonesia berusia 16
tahun berprofesi sebagai surfer professional bernama Kailani Johnson—yang kemudian
diidolakan tokoh Sam di dalam film itu.
Kini, rasanya
saya akan cukup percaya diri untuk menyanggah pesan perpisahan wartawan bernama
Maria Geertruida Welwillend alias Geertje. Dalam cerpen berjudul Selamat
Tinggal Hindia—tulisan pertama dalam buku Semua Untuk Hindia—ia menulis sebuah pesan
perpisahan:
“selamat tinggal Hindia Belanda, selamat datang Repoeblik Indonesia”
Jika kehidupan
beragam kita tidak diracuni ketakutan tentang asing dan aseng, “Geertje” tidak
perlu pergi dari nusantara dengan hanya meninggalkan pesan melalui tulisan dari
lipstik. []
No comments:
Post a Comment