Sunday, July 5, 2020

Indie

Apalah arti sebuah nama. Itu kalimat terkenal dari sastrawan William Shakespeare. Maknanya, bahwa nama bukan yang utama. “Andaikan bunga mawar kita namai berbeda, harumnya tetap sama”, kurang lebih begitu kutipan lengkapnya.

Lantas apa yang utama? Menurut Martin Luther King Jr. dalam pidatonya yang terkenal, I Have a Dream, yang penting itu sikap seseorang, bukan warna kulitnya. Dan pesan untuk menyampingkan nama hingga warna kulit, rasanya masih relevan sampai hari ini.

“I have a dream that my four little children will one day live in a nation where they will not be judged by the color of their skin, but by the content of their character.”

Baru-baru ini sebuah video melintas di linimasa medsos. Saya tergelak mendengar nama anak saya disebut sang kreator. Dia memang terkenal membuat parodi tentang identitas—so called—indie.

Irfan Ghafur membuat guyonan tentang bagaimana seorang ayah memanggil nama anaknya untuk sekadar mengambilkan kopi. Ayah “normal”, menyebut nama “Anisa”, "Putra", "Via" atau nama lain yang biasa kita jumpai. Sementara, ayah “indie”, memanggil anaknya yang bernuansa itu tadi: indie. Ada nama "Semesta", "Bintang", "Langit", sampai "Aksara". Yang terakhir itu nama anak saya. Haha.



Ketika dia baru lahir, di grup-obrolan tempat saya bekerja, seorang teman bertanya tentang makna Aksara. Saya lalu jabarkan makna (sok) filosofisnya. Padahal, nggak seserius itu.

Suatu hari, kehamilan istri saya sudah cukup matang. Dengan dalih memperlancar kelahiran kelak, kami berkunjung ke Kinosaurus, sebuah bioskop kecil di Kemang, Jakarta. Di sana kami nonton film Sunya. Setelahnya, kami "belanja mata" di toko buku yang jadi bagian depan Kinosaurus tadi: Toko Buku Aksara. Nah, dari situlah asal nama anak kami.

Di dalam nama lengkap Aksara, tidak ada kata akhir nama lengkap saya. Maksudnya, tidak membentuk nama marga. Meskipun, lazim juga melanggengkan nama keluarga, bahkan sejak dulu. Setidaknya itu yang saya baca di buku Kehidupan Kaum Menak Priangan1800-1942.

Di dalam buku yang ditulis DR. Nina H. Lubis itu, dipaparkan bahwa ada keunikan dalam tata cara penamaan keturunan bupati di Galuh—daerah Ciamis dan sekitarnya. Ternyata, kabanyakan nama depan putra-putri bupati R.A.A Kusumasubrata, berawalan huruf G: Gardea, Gurnita, Gotawa, Gurtiwa.

“Konon, hal ini dimaksudkan untuk memperkuat identitas mereka sebagai keturunan asli Galuh. Di belakang nama kecil putra-putri bupati ini disertakan nama Kusumasubrata yang menyiratkan adanya pengaruh Barat dalam hal pemakaian nama ayah sebagai nama keluarga. Tidaklah hal ini mengherankan karena Kusumasubrata sejak kecil banyak menerima pendidikan dari orang Belanda.”

Pemberian nama yang kini dicitrakan sebagai identitas “indie”, pasti terkait pula dengan pengaruh sosiologis ketika nama “indie” populer. Kondisi ini, bikin sesepuh kultur “indie” dari masa awal istilah itu populer, geleng-geleng kepala. Pasalnya, memang ada perubahan makna. Dewi Lestari alias Dee, pernah mencuit begini:



Selain dikenal sebagai novelis, Dee sohor juga sebagai penggerak scene “indies” di Bandung pada dekade tahun 1990-an. Hal itu terekam dalam buku yang ditulis Idhar Resmadi tentang biografi band Pure Saturday: Based on a True Story. Istilah yang saat itu populer, memang “indies”. Bukan “indie”. Dia merujuk ke musik britpop. Dalam kata pengantar buku tadi, Nishkra yang sempat aktif sebagai penulis di Ripple Magazine menulis sebagai berikut:

“Memasuki 1994, musik indies kian menjadi-jadi terutama berkat perilisan album Definitely Maybe oleh Oasis. Suede pun kembali merilis album, diberi judul Dog Man Star”
Seiring perkembangannya, kata “indie” yang bermakna “independen” semakin sumir jika dilekatkan ke satu identitas tertentu. Meski begitu, indie tetap menjadi semacam zeitgeist atau semangat zaman yang relevan sejak istilah itu mulai populer di akhir abad ke-20. Memasuki dekade kedua abad ke-21, kata “indie” terus dimaknai. Setidaknya relevan sebagai parodi. []

No comments:

Post a Comment