“Ini film sungguh dark dan bad vibes banget, kalo suasana hati dan pikiran lo lagi gak sehat, pas nonton langsung makin ancur dan kepikiran. Filmnya bagus banget, tapi saran gua nontonnya pas lagi keadaan bahagia dan baik2 aja.”
Cuit sebuah akun Twitter di hari kedua penayangan film Joker pekan pertama Oktober lalu, mampir di lini masa. Saya skeptis. Film Joker ini, yang disutradarai sineas yang membuat komedi The Hangover, bisa bikin penontonnya punya pengalaman sinematik begitu berkesan? Keraguan itu akhirnya pupus ketika saya benar-benar menyaksikannya sendiri. Dan saya tahu kenapa bisa ikut terganggu: Joker menjadi cerminan realita masyarakat kita.
Joker bercerita tentang seorang badut penyandang kelainan pseudobulbar affect—kelainan emosi yang ditunjukkan dengan ekspresi tangis atau tawa yang tidak bisa dikendalikan penderitanya. Badut bernama Arthur Fleck, mengalami berbagai kesialan akibat kondisi Kota Gotham yang dia tempati, cacat secara moral dan sosial. Pada suatu momen puncak, ia lalu menjelma menjadi Joker yang kita kenal sebagai musuh bebuyutan Batman.
Demonstrasi
Katanya, seni adalah kebohongan yang menggambarkan kenyataan. Keyakinan itu, membuat saya menarik garis penghubung antara fiksi dan realita dari sejumlah adegan dalam film besutan Todd Phillips ini. Thomas Wayne merespon kematian tiga orang pegawainya akibat penembakan oleh sosok berwajah badut. Momen ini, ia manfaatkan untuk menawarkan diri sebagai calon wali kota.
“Maybe they didn’t realize, but I am their only hope,” sesumbar Wayne.
Ternyata, promosi diri ayah Batman ini ditangkap berbeda oleh warga dengan strata ekonomi kelas bawah. Mereka justru menangkap kesan bahwa Wayne sebagai representasi kaum jutawan, malah merendahkan pelaku pembunuhan dengan sebutan pengecut karena bersembunyi di balik topeng. Tajuk utama koran pun memberitakan sebuah gerakan massa: Kill The Rich.
Rasa muak terhadap oligark atau kaum superkaya, membuat warga Gotham jengah. Mereka melakukan aksi massa dengan memakai topeng badut. Serupa dengan di layar sana, rasa muak sejenis diperlihatkan para demonstran akhir September lalu. Konsepsi topeng badut paralel dengan status mahasiswa atau kaum terdidik. Demonstrasi berlangsung di berbagai daerah dengan tujuh tuntutan utama:
1. Tolak 8 RUU dan sahkan 1 RUU,
2. Batalkan pimpinan KPK yang baru terpilih,
3. Tolak TNI dan Polri bertugas di jabatan sipil,
4. Hentikan militerisme di Papua dan bebaskan tahanan politik,
5. Hentikan kriminalisasi aktivis,
6. Pidanakan korporasi pembakar hutan,
7. Tuntaskan kasus pelanggaran HAM.
Beruntung, pangkal aksi massa di Indonesia tidak sekacau belasan menit terakhir film Joker. Meski sama-sama menimbulkan korban jiwa—duka mendalam saya haturkan atas kepulangan La Randi dan Muhammad Yusuf, juga 254 mahasiswa yang sempat dirawat di wilayah hukum Polda Metro Jaya—tidak ada sosok psikotik yang jadi tokoh utama eskalasi situasi. Paling, Ananda Badudu yang jadi martir ketika ditangkap “Batman” kepolisian perihal pengumpulan dana melalui situs crowdfunding.
Kekerasan Domestik
Kelainan jiwa yang mendera Arthur Fleck, ternyata bermula dari sakit yang juga dialami ibunya. Bukan bermaksud tidak empati, tapi yang dilakukan Penny Fleck rasanya belum sekejam yang dilakukan Sri alias Yayu asal Sukabumi.
Akhir September lalu, ia terungkap berperan atas pembunuhan terhadap anak perempuan berusia 5 tahun, Nadia Putri. Sebelum meninggal, Nadia diperkosa oleh kedua kakak angkatnya yang masing-masing berusia 14 tahun dan 16 tahun. Setelah pemerkosaan itu terungkap, Nadia malah dibunuh oleh ibu kedua remaja laki-laki. Jasadnya lalu dibuang ke Sungai Cimandiri.
Tahan dulu sampai di sana. Ibu dua anak berusia 35 tahun ini punya kegilaan lain. Dia mencekik korban karena cemburu ketika anaknya memerkosa Nadia. Saat itu pula, Sri dan kedua anaknya berlanjut melakukan hubungan badan alias inses. Sebelum itu, kebiadabannya tampak dari luka memar pada wajah dan bekas bakaran setrika di paha Nadia. Tetangga yang bersaksi demikian pun mengaku tidak akur dengan Sri. Ia malah marah ketika dinasehati.
Jika Arthur Fleck yang demikian tersiksa saja berubah jadi Joker di usia dewasanya, mau jadi apa kedua anak Sri? Sulit membayangkan apa yang ada di benak keduanya jika tidak ada pendampingan yang tepat. Joker saja dikisahkan punya seorang terapis di awal film.
Ketidakpedulian
Sebuah ulasan film menyebut bahwa film Joker terlalu menumpukan kekuatan ke kapabilitas seni peran Joaquin Phoenix. Dramatisasi kesialan yang dialami tokoh Arthur berlebihan. Bagi saya, adegan perundungan oleh anak jalanan di depan toko yang sedang memberlakukan diskon, memperkuat kesan bahwa penghakiman oleh massa membahayakan.
Lihat ketika psikologi massa yang merasa kuat karena bergerombol, tampak kala Arthur dikeroyok. Kondisi sejenis terlihat dalam persekusi ke penganut Ahmadiyah, penelanjangan pasangan di Cikupa Tangerang, hingga pembunuhan seorang terduga pencuri dari rumah ibadah. Saya yakin, semua itu terjadi karena orang di sekitar korban perbuatan di atas tidak mau membantu. Mereka tidak peduli. Sama seperti ketika Arthur berteriak minta tolong di jalanan Gotham yang ramai, dan tidak ada satu pun orang yang membantunya. Saya ikut ngeri karena khawatir, mungkin giliran saya jadi korban berikutnya. Apalagi hukum seakan tidak punya kekuatan sebagai kontrol sosial. Coba saja tanyakan ke pengungsi Ahmadiyah di Lombok sana.
Jika dibahas lebih dalam lagi, film Joker juga bisa menyapu lebih banyak isu. Sebut saja soal persaingan dalam dunia kerja di kasus Randall yang membekali Arthur pistol. Lalu perihal superiority complex atau kecenderungan merasa berkuasa atas sesuatu—dalam hal kampanye Thomas Wayne dan humor ala Murray Franklin. Belum lagi soal peran media massa dalam mengatur agenda setting—ingat ketika pemberitaan di alam raya Joker ramai dengan fenomena tikus super—yang dikesankan dalam dialog film bahwa topik itu kurang krusial.
Meski demikian, durasi 122 menit pada akhirnya tandas dengan sebuah adegan multitafsir yang menampakkan Joker di sebuah ruang interogasi. Penonton bisa memaknai bahwa ia dikerangkeng karena jadi pemicu kerusuhan. Pemirsa lain bisa juga membaca bahwa adegan penutup itu justru realita yang real di dunia Joker—semua kisah sebelum adegan itu, hanya ada di kepala si tokoh utama. Lantas, jika memang hampir sekujur lika-liku film ini cuma fiksi di benak Joker, apakah kita juga tetap mau berdalih bahwa semua cacat sosial ini cukup dibalas di akhirat nanti? []