Akhirnya, bagian akhir trilogi live action Rurouni Kenshin rilis di Netflix. Episode ketiga ini jadi akhir penebusan Kenshi Himura atas dosanya di masa lalu.
Dalam sekuel berjudul ini, sejarah tanda silang di pipi kiri Si Batosai dibahas. Luka itu ditorehkan mantan istrinya, Tomoe Yukishiro.
Tomoe punya seorang adik, namanya Enishi. Pria berambut putih ini dewasa sebagai mafia dari China, yang ternyata membiayai kerusuhan yang didalangi Sishio Makoto--samurai mirip mumi yang jadi antagonis di film kedua.
Enishi datang dari Shanghai buat membalas kematian kakaknya. Nasib Kenshi dalam bahaya.
Film berdurasi dua jam lebih ini, menampilkan interpretasi yang lebih mudah dieksekusi di medium sinema. Misalnya soal luka kedua di pipi Kenshi yang beda dibanding versi komik.
Bagi saya, yang paling memuaskan dari film ini koreografinya. Kamera diposisikan jauh dari petarung.
Dalam komposisi gambar yang nggak terlalu detil--rata-rata medium close up--justru keliatan perkelahiannya epik. Nikmatilah momen ketika Kenshi lari di dinding lorong, mundur teratur saat digempur di markas musuh utama, hingga didorong sampe ngangkat sekitar dua meter di pertempuran lawan Enishi. Eyegasmic.
Lebih dari itu, narasi penebusan dosa ala samurai di masa restorasi meiji, tetap dipertahankan. Samurai X ini tentang Jepang sebagai sebuah bangsa.
Akun YouTube Accented Cinema menganalisa bahwa kisah batosai sang pembantai adalah kisah Jepang yang di masa modern sedang menebus kesalahannya di masa kolonialisme. Saat itu, Jepang agresif menjajah seperti yang juga dilakukan rekan seideologinya, Jerman di bawah Nazi.
Pasca Hiroshima dan Nagasaki dibom, Jepang berbenah. Mereka mulai memakai "sakabatou", pedang bermata tajam terbalik. Tetap menakutkan (dalam konteks ekonomi-budaya-geopolitik), tapi nggak agresif.
Untuk lebih menikmati kisah berlatar tahun 1800an ini, kita juga bisa belajar sejarah Jepang di platform yang sama. Netflix punya serial berjudul Age of Samurai: Battle For Japan.
Seorang kawan saya yang menggemari sejarah Jepang, menilai serial itu punya penggambaran tokoh sentral yang beda sama deskripsi yang dia biasa baca. Misalnya, Nobunaga menurutnya nggak kayak gitu.
Bagaimana pun, fakta tentang perbedaan tafsiran sejarah memang nggak bisa dihindari. Justru itulah esensi kita belajar sejarah. Beda temuan, beda penafsiran. []
No comments:
Post a Comment