Sebuah buku, bisa kita kenang dari kalimat pembuka atau penutupnya. Novel kanon 1984 dimulai dengan "it was a bright cold day in April, and the clocks was striking thirteen".
Banyak orang meraba makna dan estetika dari susunan kalimat itu. Barangkali karena memang si kalimat pertama, jadi bagian pembuka dari gagasan utama keseluruhan buku. Pantaslah dia dianggap penting.
Baru-baru ini saya terkesan dengan sebuah kalimat pembuka. Dari buku puisi--katakan demikian--berjudul Catatan Najwa 2. Bunyinya begini:
"Jurnalisme menjadi rahmat sekaligus kebahagiaan. Ia memberi begitu banyak: pengalaman hidup, karier, jejaring sahabat dan relasi, penghargaan, mungkin juga popularitas. Untuk semua itu, jurnalisme tidak menuntut banyak, ia mensyaratkan independensi dan objektivitas."
Paragraf itu, memulai rentetan pilihan keberpihakan Najwa Shihab dan timnya atas berbagai isu publik. Semua disampaikan lewat prolog dan epilog dari talkshow Mata Najwa, dengan rima khas pantun dan tingkat sastrawi ala puisi.
Prolog, epilog, pantun, puisi, itu semua label. Intinya, rangkuman hingga ajakan. Dan yang baru-baru ini--baru halaman pertengahan maksudnya--bikin saya terkesan, kalimat satu ini:
"Mengingat adalah aksi politik paling sehari-hari, bahu membahu kita bangun benteng memori. Karena mengingat adalah aksi yang tak bisa disanggah, cara bertahan rakyat melawan kuasa yang pongah." []
No comments:
Post a Comment