Kenangan Dalam Sekeping VCD
Dalam rak koleksi CD musik yang
saya punya, ada satu cakram padat yang belum pernah diputar. Bukan CD
sebetulnya. Album musik ini berupa VCD. Karena malas menyesuaikan perbedaan
format itulah, saya menunda dengar hingga tujuh tahun.
Judulnya: Pop Daerah Puncak Ilaga.
Ada lima foto dan nama musisi yang dipajang di bagian sampul berwarna dominan
cokelat itu, plus satu foto dan nama bupati Kabupaten Puncak, Willem Wandik, SE,
M.Si.
Sepuluh lagu tersusun dalam album
kompilasi itu. Ada yang ditulis dalam bahasa Indonesia, sebagian besar berjudul
bahasa setempat. Salah satu track di urutan keempat, berjudul “Bapak Willem
Wandik, SE, M.Si”.
Pak Willem jadi pengundang tim liputan
saya tahun 2014 itu. Saya dan kamerawan Prasetyo Prayogo bahkan tidur di
rumahnya. Waktu itu, kami meliput perayaan kemerdekaan RI di salah satu
kabupaten pegunungan tengah Papua itu. Saat meliput upacara bendera itu pula,
seseorang datang dan memberi saya VCD album tadi, dua keping.
Lagu Tentang Ilaga
Album kompilasi Pop Daerah Puncak
Ilaga dibuka dengan tembang bertitel “Wajahku Puncak Ilaga”. Domi K. Mokoil
menggubah lagu ini, untuk kemudian dinyanyikan Doddy Latuharhary. Tembang ini
memberi semacam gambaran “tampakan dari atas” untuk mengenalkan pendengar ke
sebuah daerah dengan berbagai kekayaan alamnya.
Ilaga sebetulnya merujuk ke salah
satu distrik atau kecamatan yang ada di Kabupaten Puncak. Untuk sampai di
distrik pusat berketinggian 2.286 meter di atas permukaan laut itu, saya musti
menumpang pesawat berbaling dari Timika.
Ini perjalanan berisiko. Kecelakaan
pesawat kerap terjadi. Bahkan beberapa hari setelah kunjungan saya itu, Bang
Coky—salah satu tim Pak Willem—mengirim foto pesawat tergelincir di landas
pacu. Tanggal 25 Oktober 2021 lalu saja, kejadian serupa terjadi. Pesawat
perintis jenis Caravan milik Smart Air menabrak landasan Bandara Aminggaru
Ilaga Papua. Risiko lain kala berkunjung ke Ilaga, tiada lain tiada bukan, ancaman
kelompok bersenjata.
Damai di Ilaga
Dalam lagu lain di album yang
sama, harapan suasana diselipkan melalui lagu “Damai di Ilaga”. Domikus K.
Mokoil sebagai pencipta sekaligus penyanyinya, mendeskripsikan suasana sendu. “di senja hari/ di musim dingin/ hari meratap/
hari merintih/ awan gelap berarakan/ asap hitam membubung tinggi/ panas api
membakar bumi//”. Ia lalu kontraskan dengan harapan masa depan cerah, “berakhir sudah ratap dan tangis/ di negeri
ini/ gadis kecil berdendang riang/ di alam perdamaian//”. Domi menutup
tembang dengan sebuah ajakan, “bersama
kita membangun kembali/ Ilaga negeri tercinta//”
Namun, hingga kini Ilaga masih
jadi salah satu daerah panas pertikaian kelompok separatis dan aparat keamanan.
Tanggal 5 Oktober 2021, seorang
pengojek ditembak orang tidak dikenal di distrik Gome. Kewaspadaan akan
keselamatan, juga dilakukan saat saya ke sana tahun 2015. Kala berada di Puncak,
eksplorasi tim liputan kami dibatasi sampai batas sungai Ilaga—sungai yang
dalam lagu Wajahku Puncak Ilaga ditulis dalam lirik “sungai Ilaga mengalir deras”.
Gunung-Gunung Ilaga
“Wajahu Puncak Ilaga” juga
menyebut Gunung Gergaji dan Gunung Kelabo di distrik Sinak. Dari lagu itu, saya
baru tahu bahwa di dekat Gunung Kelabo, ternyata ada danau juga. Gunung Kelabo,
seperti deskripsi di namanya, berwarna kelabu atau abu-abu. Wujudnya serupa kue
bolu raksasa rasa cokelat yang ditaburi serbuk gula tipis-tipis. Tampak jelas
dari distrik Ilaga.
Lagu “Wajahu Puncak Ilaga” juga
menyitir Gunung Okel dan Gunung Meja, selain Gunung Tanah Ibkelabuk. Gunung Meja
itulah yang sempat saya daki bersama personel Paskhas TNI AU dan Batalyon
Infanteri 500/Raider Ilaga.
Tak perlu waktu lama untuk sampai
puncak. Seingat saya, untuk mengunjungi tempat itu juga tak perlu mengeluarkan
energi terlalu banyak. Saya juga tak lupa, tanaman dari genus epenthes atau
kantung semar banyak tersebar di jalur pendakian. Selain itu, tanaman genus Myrmecodia
atau sarang semut juga menarik perhatian saya. Dua jenis tetumbuhan itu
termasuk langka saya dapati.
Gunung Meja spesial karena jadi
lokasi pengibaran bendera raksasa merah-putih. Di dekat posisi bendera berkibar
itu pula, saya mewawancarai dua anggota TNI dari kesatuan berbeda yang bertugas
mengamankan daerah Puncak. Usai wawancara singkat, keduanya meminta kami segera
turun dan pulang sebelum gelap, antisipasi risiko adanya serangan kelompok
bersenjata.
Lagu “Wajahku Puncak Ilaga”
menyisakan “air panas di Kampung Mayuberi”
dan “cendrawasih di Muara Ei” yang
tak sempat saya datangi. “duduk dan makan
buah merah” di Waloni juga absen dari daftar kunjungan waktu itu. Buah
merah, baru saya jumpai dalam lawatan kedua ke Pegunungan Tengah Papua. Kali
ini ke disrik Sugapa, Kabupaten Intan Jaya.
Sugapa, Wajah Lain Pegunungan
Tengah
Setahun telah berselang pasca tugas
peliputan saya ke Ilaga tahun 2014. Tahun 2015 saya ke pegunungan tengah papua
lagi, ke Distrik Sugapa Kabupaten Intan Jaya. Buah merah, yang belum sempat
saya cicipi, saya jumpai kala mama-mama di sana menjualnya di sekitar lapangan
upacara peringatan 17 Agustus, hari kemerdekaan Indonesia.
Saat saya bertugas meliput di
Sugapa, kondisinya belum semencekam sekarang. Saat ini, tak jauh berbeda dengan
Ilaga, Sugapa jadi salah satu titik panas konflik antara TNI dan kelompok
pendukung kemerdekaan Papua.
Tanggal 29 Oktober 2021, bandara
Sugapa dibakar kelompok kriminal. Tanggal 1 November 2021, dua anak
tertembak dan ribuan warga lain mengungsi akibat kontak senjata antara militer
Indonesia Satgas Nemangkawi dan kelompok kriminal bersenjata. Sepanjang Januari
hingga Oktober 2021, telah terjadi 32 penyerangan Kelompok Kriminal Bersenjata
(KKB) di sejumlah kabupaten di Papua, dan 9 penyerangan di antaranya ada di
Intan Jaya.
Pangkal konflik di Papua, menurut
riset LIPI, ada empat hal. Tahun 2011, sebagaimana dikutip dalam situs LIPI,
keempat hal itu berkaitan dengan status integrasi Papua ke Indonesia, operasi
militer TNI, diskriminasi dan kegagalan pembangunan.
Relevansi urusan pembangunan yang
dimaksud dalam riset tadi, saya temui kala
berada di sana. Tepat ketika ada di Sugapa, saya turut meliput demonstrasi
yang dilakukan warga Intan Jaya agar pemerintahan kabupaten bisa berlangsung
normal. Warga mengeluhkan bupati yang jarang ada di lokasi. Di sisi lain,
bupati Intan Jaya Natalis Tabuni—yang kembali menjabat bupati di tahun 2021—mengaku
harus mencari investor supaya pembangunan yang diminta warganya bisa
terlaksana.
Emas di Sugapa
Hari-hari ini, Sugapa dikenal
termasuk ke dalam wilayah yang disebut blok wabu. Daerah ini disebut-sebut akan
menjadi area eksploitasi baru karena ada
kandungan 8,1 juta ons bijih emas. Saya tidak ragu dengan klaim itu.
Di Sugapa, saya menjumpai batu-batu
yang memiliki lapisan tampak serupa emas—setidaknya terlihat demikian. Batu itu
terserak di pinggiran sungai. Ambil sembarang bongkahan kecil, dan amatilah.
Niscaya, jelaslah terlihat kilauan itu. Saya sempat ambil sekepal kala berenang
di sungai itu.
Sensasi berenang di sungai Sugapa
menyenangkan. Airnya dingin, ada bagian yang arusnya terasa menghanyutkan tapi
tetap memberi kita kendali ketika terseret. Terlebih, saya berenang dengan
warga setempat dan Maximus Tipagau.
Maximus yang lahir dan besar di
Sugapa, waktu itu menjalankan
bisnis jasa penyedia pemanduan perjalanan ke puncak Cartenz. Gunung yang
ada di 4.884 meter di atas permukaan laut itu dinobatkan jadi puncak tertinggi
di Indonesia, bahkan ketujuh di Asia Tenggara.
Sugapa, jadi salah satu jalur
pendakiannya. September 2015, Maximus “Si Gladiator Papua” dan timnya berhasil
memandu wartawan detikTravel Afif Farhan dan wartawan Sinar Harapan Sulung
Prasetyo, tiba di Puncak Cartenz.
Dari dua kunjungan itu, pegunungan
tengah Papua memang belum cukup dikenal dengan akrab, setidaknya bagi saya.
Meski begitu, dua pengamatan di atas rasanya akan bikin saya berempati dengan
penduduk pegunungan tengah, dengan VCD Pop
Daerah Puncak Ilaga sebagai penanda ingatan. []