Seiap kali pulang--dan melewati pusat kota--rasanya selalu ada yang memanggil. Namanya Guntur, satu dari tiga gunung wisata yang ada di Garut. Kamis lalu, kami jumpa lagi.
Tuesday, November 29, 2022
Guntur
Tuesday, October 4, 2022
Alfiansyah
Dalam Majalah Tempo terbaru, ada esai Goenawan Mohammad di rubrik Catatan Pinggir. Judulnya "Giosue".
Di esai itu, Pak GM mengulas film Life is Beautiful. Judul aslinya La Vita e Bella.
Giouse yang ia comot jadi judul, berasal dari nama tokoh anak-anak dalam film garapan sutradara Roberto Benigni. Sang sutradara, juga berperan jadi ayah Giosue, bernama Guido.
"Guido bisa menghadirkan di dalam mata anaknya sebuah hidup yang seru, dan anaknya berbahagia."
Demikian salah satu pendiri Majalah Tempo ini menuliskan sinopsis, dengan sebuah plot twist.
"Tapi bukankah kita tetap mengatakan bahwa Guido tahu dan kita tahu ia berbohong: kamp konsentrasi itu bukanlah tempat di mana la vita e bella?"
Esai Giosue dalam edisi 3-9 Oktober 2022 ini, sebenarnya rilisan ulang dari terbitan 5 April 1999. Filmnya sendiri pertama kali tayang tahun 1997.
Meski begitu, ada sebuah paragraf, yang membuat rubrik mingguan ini rasanya baru ditulis hari Minggu, 2 Oktober 2022.
"Giosue percaya. Tetapi sampai sejauh mana ketidakadilan dan kekejaman, sebagai kenyataan hidup harus ditutup dari mata seorang anak? Sejauh mana cinta mengizinkan kita berdusta dan bohong bisa bersifat protektif? Film La Vita e Bella (Hidup itu Indah) memberi jawaban yang ekstrem: sampai sejauh jauhnya. Bahkan di ambang liang kubur orang banyak."
Setelah membaca bagian di atas, saya membayangkan Giosue sebagai tokoh fiksi pengganti Alfiansyah. Dalam umur 11, ia kehilangan orang tuanya dalam tragedi Stadion Kanjuruhan, Malang Jawa Timur.
Saya membayangkan, dari ayah dan ibunya (Yulianton dan Devi Ratna) ia mewarisi sebuah renjana terhadap sepak bola. Keluarga Aremania ini menaruh passion terhadap sebuah permainan sebelas lawan sebelas di sebuah liga yang dijuduli ABC News In-depth sebagai: the world's most dangerous league.
Judul dari tiga tahun lalu itu mewujud kenyataan pada Sabtu, 1 Oktober 2022. Lebih dari seratus orang meninggal akibat penumpukan massa yang diawali lemparan gas air mata oleh polisi, setelah suporter kecewa dengan kekalahan tim tuan rumah.
Di akhir esainya, Pak Goen membayangkan:
"Terkadang kita ingin ada seorang Guido yang sebaiknya mengelabui kita. Tapi benar perlukah kita akan sebuah dusta yang bisa membuat kita tak putus harap?"
Saya lalu membayangkan, di bulan November nanti, saat Alfiansyah akan berusia 12, apakah ada yang "berdusta atas nama cinta" kepadanya soal penyebab dia jadi yatim piatu? Ataukah dia harus siap menerima fakta tentang "ketidakadilan dan kekejaman, sebagai kenyataan hidup
"? []
Thursday, September 29, 2022
Trocoh
Oh, trocoh itu artinya bocor. Yang saya maksud, sebuah buku buatan Budi Warsito.
Isinya esai tentang memorabilia si penulis: buku, film, cerpen, majalah, piringan hitam, dan banyak lagi. Dan perspektifnya unik.
Budi lihai mengolah fakta untuk kemudian dipadu padan dengan pengalaman, lantas disajikan ke dalam sebuah judul artikel barangkali sekitar 200-300 kata tanpa pembatas antar paragraf. Masing-masing mereka dibubuhi musik pengiring, berupa informasi judul lagu dan penyanyinya.
Sejauh 144 dari 275 halaman ini, favorit saya "Empat Menit, Sehat Sempurna". Isinya tentang Senam Kesegaran Jasmani (SKJ). Waktu sekolah SD di akhir 90an, saya sempat mengalami masa-masa senam sebelum masuk kelas, serupa yang dialami pemilik perpustakaan Kineruku Bandung itu.
Kedekatan dengan bahasan di judul ini, juga muncul ketika Budi menghadirkan sejarah SKJ yang berasal dari SPI, Senam Pagi Indonesia. Saya pernah tugas di program TV bernama SPI, Selamat Pagi Indonesia. Dan ternyata istilah SPI pernah sepopuler itu, hingga barangkali para senior di Metro TV mempertimbangkan "romantika" supaya penonton dari tahun 1975 bisa merasakan sebuah proximity.
Dalam tulisan yang sama, Budi juga membubuhkan opini jenaka tapi mungkin memang tepat, bahwa "Di negeri yang dipenuhi bakat pelawak ini, kepatuhan yang dipaksakan hanya akan menghasilkan lelucon. Mungkin SKJ itu memang bukan soal kepatuhan, melainkan tentang bersenang-senang."
Meski begitu, ada pula bahasan yang terlalu jauh. Setidaknya bagi saya. Atau terlalu detil dan trivial sampai saya pikir judul ini bisa diabaikan.
Pada akhirnya kategori semacam itu tetap saya baca sih, karena toh yang dicari dari membaca buku Trocoh bukan cuma informasi. Saya sedang mengasah skill meracik gagasan dengan bahan baku yang sama seperti buku ini.
Salah satu cara latihannya, rutin nulis di blog ini. Sama seperti penulis Trocoh konsisten menulis di blognya, budiwarsito.net. []
Monday, September 26, 2022
Tersirat
Secara sadar atau tidak, kita menaruh hormat kepada tempat asali dengan cara yang (katakanlah) simbolik. Selain berasal dari perenungan ke arah jendela bis antar kota, ini saya sadari pula dari sebuah tontonan.
Di episode 5 season 1 docudrama What We Do In The Shadows, dikisahkan si vampir betina (betul istilahnya begitu?) Nadja menemui Gregor, seorang pria yang ia percayai reinkarnasi dari kekasihnya di masa lalu. Sebagai "drakula betina" (betul begitu istilahnya?), tokoh yang diperankan Natasia Charlotte Demetriou ini memang imortal.
Maka, ketika Gregor mengajaknya ke sebuah pasar malam, ia mengenang bahwa destinasi kencan mereka, mirip dengan konsep sirkus orang aneh (freak show) di kampung halaman Nadja--yang entah di Eropa bagian mana, tapi jelaslah itu terjadi di masa "jahiliyah". Pembandingan ke tempat asal itu, terasa komedik sekaligus puitik. Saya jadi punya pemahaman baru.
Sebagai "urang sunda", saya mengajarkan anak beberapa istilah dari tempat ayahnya berasal, meskipun mungkin pada akhirnya penggunaan kata itu hanya ada di rumah. Begitu pula istri saya yang pernah mengenalkan istilah "terik" untuk sebuah menu makanan yang saya kira "teri" dan ternyata bukan.
Saya pikir, itu wujud penghormatan. Dan menariknya, diungkapkan secara tersirat.
Saya jadi lebih suka memaknai alasan ibu punya rumah di pinggir sawah, karena dulu orang tuanya juga punya rumah serupa. Ayah saya pernah cerita, bahwa tiap orang tuanya menyekolahkan anak, satu "balong" dijual. Pahamlah saya, kenapa sekarang Bapak mencintai balongnya, di halaman belakang sebuah rumah pinggir sawah. []
Saturday, September 24, 2022
Baca Ulang Lalita
Saya baca lagi novel yang pertama kali dibaca 10 tahun lalu. Judulnya Lalita, buatan Ayu Utami. Kamu pernah baca juga?
Buku ini bisa dibilang lanjutan dari kanon Bilangan Fu (2008). Tokoh utama di Lalita, masih trio Marja Manjali, Parang Jati dan Sandi Yuda--baru-baru ini saya baru paham bahwa nama dua pria ini diambil dari pemanjat tebing legendaris.
Dalam petualangannya kali ini, mereka terlibat intrik dengan seorang perempuan yang namanya jadi judul novel. Nama itu, diambil dari kisah yang tergambar di relief Candi Borobudur: Lalitavistara.
Melalui kisah tentang Lalita, Jataka, Ansel Eibenschutz dan bahkan tokoh betulan semacam Sigmund Freud hingga Claude Debusy, Ayu Utami menyampaikan gagasan bahwa spiritualisme nusantara ini kaya dan adiluhung. Salah satu buktinya, Candi Borobudur itu tadi.
Usai khatam melahap 243 halaman Lalita, impresi "wow" saya rasanya melebihi sensasi ketika tamat baca pertama kali. Waktu itu saya lagi tugas di biro Yogyakarta Metro TV.
Saking merasa pentingnya menggaungkan lagi misteri Borobudur tadi, saya sempat usulkan jadi ide liputan. Pada akhirnya ide itu batal dieksekusi.
Karena, sebagai reporter di program berita harian, satu ide liputan harus terpaut ke suatu peg news. Opsi lainnya, ide itu harus berangkat dari satu masalah--begitu kepala biro saya dulu mengajarkan.
Nah satu dekade kemudian, rasa takjub dari Lalita tadi tersalur ke pendalaman referensi bacaan yang dibagikan Ayu Utami. Di bagian Catatan Akhir, si "eks parasit lajang" menyebut titel Borobudur: Golden Tales of the Buddha (John Miksic, Periplus:2000).
Hari itu, berangkatlah saya ke Perpustakaan Nasional. Ternyata yang ada Borobudur: Majestic Mysterious Magnificent. Nama John Miksic tetap ada di buku itu.
Saya pun baca di tempat meski maunya sih dibawa pulang, dipinjam. Sayang, ukurannya kegedean.
Pada akhirnya, setelah sekalian iseng cari lokasi semua judul yang ada di laman "want to read" akun Goodreads, saya bawa pulang tiga buku. Dua di antaranya malah insidental saya comot di sebuah rak lantai 22.
Yang satu judulnya Manjali, satu lagi Maya. Mereka berdua ditulis Ayu Utami, masih bagian dari Seri Bilangan Fu. []
Sunday, September 18, 2022
Jenis-Jenis Penonton "Mencuri Raden Saleh"
Tahun 2005, Joko Anwar merilis film Janji Joni. Dibintangi Nicholas Saputra, tokoh Joni ngajak kenalan seorang cewek. Si Nona, baru mau kasih nama kalau Joni kerja lancar di hari itu: nganterin roll film dari satu bioskop ke bioskop lain tanpa ganggu pemutaran.
Nah, si pacar Nona yang diperankan Mariana Renata itu, cuma mau nonton pemutaran film yang mulus tanpa cela--plus penayangan perdana. Namanya Otto, diperankan Surya Saputra.
Malam itu--saat saya dan Windi nonton film Mencuri Raden Saleh--saya merasa jadi Otto yang menurut 10 golongan penonton film versi Joni, masuk kategori terakhir.
Di film Janji Joni, Otto hampir ga dapet tiket nonton gara-gara pacarnya telat. Kami telat juga. Kalau Otto nitip beliin tiket ke orang di antrian depan, saya dan Windi harus sabar nunggu petugas datang di loket pembelian popcorn.
Pada akhirnya, kami masuk pas adegan lukisan Widayat berjudul Hutan Rimba sedang dilelang. Beda sama Otto, kursi saya dan Windi ada di posisi bagus: paling atas dan kursi khusus buat berdua tanpa sekat--well done CGV.
Sayangnya, kami melewatkan adegan pembuka. Di film dokumenter "Blue Print: Making of Mencuri Raden Saleh", adegan pembuka sedemikian spesial karena kamera dioperasikan sebuah robot berlengan.
Sebagai analog Otto si penonton rewel di film Janji Joni, saya tentu merasa kurang puas. Apalagi, dari atas baris A keliatan penonton jenis "pembajak" dan penonton jenis "ponsel". Golongan pertama motret ke arah layar, kelompok terakhir buka chat sampe silau keliatan di pojokan mata.
Melihat gangguan semacam itu, untungnya saya nggak kepancing buat protes kayak Si Otto. Saya malah ternyata masuk ke golongan penonton "pacaran".
"Kosan kamu dulu di Jalan Raden Saleh kan?" Saya inget tempat ngapel.
"Iyah," kata Windi.
Atau justru tipe keenam: kritikus film.
"Product placement. Not bad lah ya," saya nyeletuk pas Gofar ngemil cokelat di bengkel.
Soal kritik-mengkritik ini, kami sepakat "Mencuri Raden Saleh" menyenangkan. Setidaknya, saya dan Windi masih bahas film ini sampe sekitar dua hari kemudian. Salah satunya ngomongin apakah adegan mobil turun dari bukit buatan CGI, atau diambil drone camera. []
Wednesday, June 8, 2022
Film Statement Ngeri-Ngeri Sedap
Sekilas tak ada yang salah dari karakter Pak Domu. Dalam film Ngeri-Ngeri Sedap, Arswendi Bening Swara memerankan sosok ayah berwatak keras dan teguh terhadap warisan adatnya.
Ayah dari anak bernama Domu ini keukeuh, keturunannya harus menikah dengan sesama suku batak. Ia pun masih terkungkung dalam stereotip bahwa kesuksesan perantau dari Sumatera Utara seakan hanya bisa diukur saat mereka menjalani karir di bidang hukum.
Maka, murkalah ia kala Domu si sulung hendak menikah dengan perempuan sunda, dan Gabe malah bekerja sebagai pelawak. Ia pun kecewa, saat Sahat si bungsu malah menetap di Jogja selepas lulus kuliah. Menurut adat, anak bungsu harusnya ada di rumah orang tua untuk kemudian mewarisi peninggalan ayah-ibunya.
Lain halnya dengan Mak Domu. Ibu empat anak ini lebih kompromistis dengan aturan adat. Menurut tokoh yang diperankan Tika Panggabean ini, yang penting kerinduan ke tiga anak lelakinya bisa dibayar tuntas. Selama tinggal di sebuah rumah tepian Danau Toba, ia dan suami ditemani satu-satunya anak perempuan mereka, Sarma.
Pak Domu dan Mak Domu, tiba di satu momen saat pertengkaran jadi satu-satunya cara supaya anak-anak mereka yang merantau bisa pulang. Dari pertengkaran inilah, kisah bergulir mengungkap beberapa hal, dari relevansi adat sampai gaya pengasuhan anak.
"Tanpa adat pun kita tetap bisa hidup," sanggah Sahat saat diminta pulang untuk menghadiri upacara adat Sulang Sulang Pahompu. Tradisi itu bertujuan merayakan pernikahan yang tertunda akibat salah satunya kendala ekonomi. Opung Domu yang diperankan Rita Matu Mona, menekankan bahwa kehadiran cucu jadi syarat utama upacara itu.
Namun, saat ketiga anak lelaki pulang dan hadir di acara tadi, mereka pun dihadapkan ke tuntutan adat lain. Momen saat para komika Boris Bokir, Lolox dan Indra Jegel bersikeras, melontarkan kontra argumen hingga menyatakan pasrah, jadi momen komikal. Unsur komedi, memang bercampur padu dalam takaran dan timing yang tepat selama sekitar dua jam durasi film.
Pun demikian dengan kutipan dialog yang dihadirkan berulang tapi sarat makna.
"Makanan Mamak memang paling enak sedunia."
"Tapi bukan itu yang membuatmu pulang kan?"
Sarma alias anak kedua yang diperankan Ghita Bhebhita, jadi karakter paling kurang diantisipasi dalam film perdana rumah produksi Imajinari ini. Ia memegang peran sentral dalam menghadirkan plot twist tentang trik menghadirkan abang dan adiknya. Lewat nasib yang ia jalani, Sarma pula yang menghujamkan panah ke jantung budaya patriarki.
Pada dasarnya, tradisi batak dan keindahan bentang alam Danau Toba dalam Ngeri-Ngeri Sedap, ibarat cangkang. Di dalam inti skenario yang ditulis dan disutradarakan Bene Dion Rajagukguk ini, ada pernyataan atau film statement yang ditujukan bagi semua anak dewasa dan semua orang tua—yang tak punya batasan usia untuk terus belajar menjadi ayah dan ibu.
Beberapa pesan, tidak cukup diekspresikan dalam kata atau kalimat. Seperti salah satunya Ngeri-Ngeri Sedap ini, ada gagasan yang perlu dipahami saat ia berwujud kisah. []
Tuesday, April 12, 2022
Rumah
Pikiran saya terlempar ke penggalan lirik dari lagu "Rumah", trek pertama album 2020 gubahan White Shoes and The Couples Company. Deskripsi berikut ini, rasanya tepat buat gambarkan rumah yang saya tinggali bersama keluarga kami.
"Hangat dan nyamannya rumah mungilku/
Oh senangnya hati tinggal di situ//"
Sensasi hangat saya rasakan di bagian kaki. Hujan turun saat saya duduk di teras dengan bangku dan kursi menghadap sebuah taman kecil. Iguana tampak berteduh di batang tanaman berbunga kuning.
Bebungaan ini cukup rimbun hingga mampu menyamarkan pandangan dari arah jalan. Pohon ini juga cukup tahu diri untuk tumbuh tanpa menyentuh kabel listrik di atasnya.
Saya hampir kehabisan rasa buat menyelipkan satu hal yang mengganggu dari tempat ini. Sampai anak saya, bersuara dari dalam ruangannya yang dingin ber-AC. Itu dia, pendingin ruangan yang kami miliki memang anomali.
Sengaja kami pilih merk yang cukup punya nama demi hindari keluhan di kemudian hari. Meski, apalah kuasa kita sebagai pembeli barang elektronik, yang tanpa bisa diduga, siapa pun bisa masuk ke persentase kecil yang menerima produk bermasalah.
Tapi toh kami tetap memakainya. Saya sendiri mulai terbiasa dengan suara bising yang berdengung kala dia menyala. Pada akhirnya, rumah ini tetap nyaman dengan fungsi utamanya yang masih terjaga.
Bagi saya, ketaksempurnaan rumah ibarat keluhan yang kita lontarkan ke tubuh sendiri--yang juga sama-sama selalu punya kekurangan. Toh kita berdamai pula apapun kondisinya bukan? Yang penting, selalu ada usaha buat perbaiki, lagi dan lagi.
Istri saya lagi getol-getolnya melengkapi rumah kami. Sore ini, dua paket datang siap dirakit. Tiga lainnya siap diambil. Saya bergegas menggendong tas kosong buat menjemput kiriman lainnya di pos satpam.
Sekali lagi, kaki saya menghangat. Kali ini karena uap air hujan yang terjerang aspal yang sudah matang sebelum hujan membasuhnya beberapa menit lalu.
Dua tahun berlalu, kompleks perumahan kami masih paranoid dengan kondisi pandemi. Garis finish pengiriman barang digeser ke gerbang cluster, dan beginilah jadinya. Saya musti jalan lagi sekitar puluhan meter buat jemput paket.
Tapi nggak apa-apa juga sih, toh saya pun selalu pilih menolak dijemput driver kantor di depan rumah dan harus jalan kaki juga. Selain biar nggak bikin berisik tetangga, juga supaya rumah saya nggak dihakimi karena kecil tadi.
Sampailah saya di pos satpam. Masukin barang ke tas, lalu jalan balik ke rumah. Di kejauhan, anak saya terlihat menunggu. Dia punya kebiasaan jemput saya kalau selesai ambil barang.
Seperti biasa, dia lari. Saya berhenti di beberapa rumah sebelum sampai, lalu memeluk dia yang menghambur ke pelukan. Saya pikir, inilah rumah kecil yang sebenarnya. []
Saturday, March 12, 2022
Mimpi
Mimpi aneh, biasanya datang waktu kita tidur lagi di pagi hari, atau ketiduran di siang hari. Baru-baru ini, saya mengalaminya di momen yang kedua. Di mimpi itu, saya sedang bertugas liputan (padahal sudah hampir setahun saya nggak ke lapangan buat liputan) dan ketemu seorang narasumber buat diwawancarai: Tesla Manaf.
Kehadiran musisi yang sekarang tinggal di Bandung itu, beralasan. Sehari sebelumnya, saya baca tulisan Herlambang Jaluardi di Koran Kompas tentang Tesla Manaf. Di tulisan itu, sekali lagi saya punya perspektif baru tentang bagaimana seniman yang satu ini membakar jembatan untuk menuju episode baru karirnya.
Maksud saya begini. Tesla, pindah haluan musik sejak 2018. Dia sepenuhnya meninggalkan gitar dan jazz yang ditekuni sejak kecil. Saya sendiri mengenal karya dia dari album It's All Yours, gubahan Tesla Manaf feat. Mahagotra Ganesha.
Album itu punya 8 track yang dijuduli seragam. Part 1 hingga Part 6, lalu ada dua track baru berjudul Part 1 dan Part 2. Di dalam sleeve CD tertulis partitur, karena memang musiknya tak berlirik, meski tetap ada suara vokal di beberapa nomor.
Itu album tahun 2011. Tujuh tahun setelahnya, Tesla Manaf rilis album eksperimental dan mengubah nama panggung jadi Kuntari. Saya belum punya niat menikmati rilisan baru Tesla dalam balutan identitas barunya. Mungkin karena memang belum paham cara mendengarkan musik eksperimental yang baik dan benar--kalau pun ada.
Dalam artikel yang saya bahas di atas, Tesla menjabarkan bahwa album musik eksperimentalnya, punya konsep tersendiri. "Dalam karya eksperimental, narasi itu penting," kata pria 35 tahun ini.
Salah satu yang ia contohkan, album Last Boy Picked rilisan tahun 2021. "Dia punya ide menggabungkan gaya breakcore dengan instrumen baru ini, tapi menggunakan instrumen organik," begitu tulis sang wartawan.
Narasi semacam itu saya jumpai pula dari performa dan rekaman nada milik Senyawa*. Duo eksperimental itu kerap memakai instrumen yang dirakit Wukir Suryadi. Iringan vokal Rully Shabara pun memberi warna yang unik.
Dalam hal mendengar karya Kuntari alias Tesla Manaf, ada narasi lain yang bikin saya jadi tertarik buat simak: keberaniannya menjelajahi genre baru. Soal kadar nekat se-ubun-ubun ini sebenarnya bukan hal baru yang saya dengar soal dia. Dalam wawancara yang disiarkan akun YouTube Orange Cliff, pria bermata minus dua itu juga cukup blak-blakan. Ada obrolan soal duit ratusan juta yang dia kumpulkan, lalu ia hamburkan lagi demi idealisme musiknya. Narasi itu, saya kira nggak kalah menarik buat melatarbelakangi musiknya.
Sekarang mari kita balik lagi ke pengalaman soal bermimpi absurd. Di alam sana, saya senang karena akan ngobrol sama musisi yang lagunya saya suka--setidaknya dari album tahun 2011 tadi. Konyolnya, di mimpi itu Tesla bilang akan punya banyak waktu buat diwawancara, padahal liputan saya akan berhari-hari--dan bahan wawancara pun cuma dari satu album. Sebelum momen penulisan berita di dalam mimpi itu semakin aneh, beruntung saya keburu bangun. []
*Simak tulisan saya tentang Senyawa di tautan ini: https://rhezaardi.blogspot.com/search/label/senyawa