Can I Say Edisi 14 sudah rilis. Klik gambar di atas untuk mengunduh dua versi: PDF dan EXE |
Thursday, December 18, 2014
Friday, October 10, 2014
Yang Dipajang di Pameran Besar Seni Rupa Keseharian
Kami baru masuk lagi ke ruangan blog ini. Lalu sadar bahwa kisah tentang Pameran Besar Seni Rupa bertema Keseharian sudah siap rilis, namun belum ditekan tombol Publish. Maka dari itu mari nikmati dokumentasinya berikut ini:
Merasakan Tabula Rasa
Tabula Rasa. Pertama kali saya dengar dua kata itu ketika duduk di kelas Psikologi Anak saat kuliah dulu. Saat itu Bu Melly mengenalkan istilah yang mulanya dicetuskan filsuf John Locke. Artinya kertas kosong. Teori tabula rasa menggambarkan bahwa seorang bayi lahir sebagai secarik bersih kertas yang siap ditulisi. Lalu bertahun-tahun kemudian Tabula Rasa muncul sebagai titel sebuah film. Film yang tadi malam saya tonton setelah melewati celah sempit waktu usai menunaikan tugas liputan.
Tabula Rasa dibuka dengan adegan pertandingan sepak bola di Papua. Seorang pemain bersinar sebagai bintang lapangan, Hans namanya. Singkat cerita, Hans berkesempatan mendaki posisi ke Jakarta. Rupanya di ibu kota kariernya tak secemerlang yang ia alami di tempat asalnya. Di antara batas tipis keputusasaan, seorang ibu datang menolong Hans. Selanjutnya kita akan mengenal ibu itu dengan panggilan Mak. Sebuah rumah makan khas Padang menjadi tumpuan sumber penghasilan Mak. Dengan kasihnya, Hans diajak Mak ke rumah makan itu. Rupanya ada sekeping kenyataan yang membuat Mak sedemikian simpati kepada Hans. Lalu konflik muncul di rumah makan yang awalnya sepi pengunjung itu. Guliran kisah pun terus berlanjut, berlatar kuah gulai kepala kakap yang mencairkan liur, didihan kuah rendang dan taburan sambal khas kuliner Minang.
Tabula Rasa dibuka dengan adegan pertandingan sepak bola di Papua. Seorang pemain bersinar sebagai bintang lapangan, Hans namanya. Singkat cerita, Hans berkesempatan mendaki posisi ke Jakarta. Rupanya di ibu kota kariernya tak secemerlang yang ia alami di tempat asalnya. Di antara batas tipis keputusasaan, seorang ibu datang menolong Hans. Selanjutnya kita akan mengenal ibu itu dengan panggilan Mak. Sebuah rumah makan khas Padang menjadi tumpuan sumber penghasilan Mak. Dengan kasihnya, Hans diajak Mak ke rumah makan itu. Rupanya ada sekeping kenyataan yang membuat Mak sedemikian simpati kepada Hans. Lalu konflik muncul di rumah makan yang awalnya sepi pengunjung itu. Guliran kisah pun terus berlanjut, berlatar kuah gulai kepala kakap yang mencairkan liur, didihan kuah rendang dan taburan sambal khas kuliner Minang.
Tuesday, May 13, 2014
Menikmati Eropa Melalui Europe On Screen
Gelaran Europe On Screen telah usai. Ada tiga film yang sempat saya saksikan dalam pekan penayangan film-film buatan sineas Eropa ini. Berikut ini ketiganya:
The Punk Syndrome
Siapa sangka, empat orang penderita keterbelakangan mental di Finlandia, mampu bersatu dalam sebuah band dan memainkan musik punk. Band bernama Pertti Kurika's Name Day (Pertti Kurikan Nimipäivät) ini bahkan tampil di luar negeri. Mereka juga berkesempatan diundang presiden Finlandia yang baru terpilih dalam sebuah acara pesta. Yang paling menarik dari film ini, tingkah polos keempat personilnya. Mereka punya ciri khas masing-masing.
Pertti si gitaris temperamental punya kebiasaan menuliskan perasaannya dalam sebuah buku harian. Disana ia menulis rasa kesal yang kemudian dijadikan sebuah lagu. Kari Aalto tampil dengan gaya khasnya yang selalu memaju-mundurkan pangkal paha. Soal aksi panggung, Kari ini gak mati gaya. Dia bernyanyi sambil berguling diatas panggung ketika tampil di sebuah pentas. Lalu ada Toni Välitalo, drummer yang sangat polos dan lebih banyak diam. Ekspresinya datar ketika seorang metalhead berteriak semangat ke arah mobil yang bandnya tumpangi, dan itu lucu. Terakhir si bassis Sami Helle. Yang paling menarik dari dia misalnya ketika berolah raga dan celananya melorot.
Tingkah cuek yang natural diatas benar-benar mencerminkan esensi musik punk yang mereka mainkan. Yang juga saya kagumi dari film ini, selain ketekunan sang sutradara, juga kesabaran manager band yang perlu diacungi jempol. Pasti bukan hal mudah mengelola band yang berisi orang-orang yang susah diatur.
Mussels In Love
Film dokumenter ini berkisah tentang kerang. Di Belgia sana, makanan olahan kerang jadi favorit. Perjalanan kerang dari laut sampai meja makan direkam dalam film ini. Gambar-gambar indah yang disajikan dalam film ini didukung musik yang juga nyaman di telinga. Dalam sebuah skena misalnya, si kerang ditampilkan melalui lensa makro diiringi nyanyin setengah berbisik seorang wanita yang berbahasa Perancis. Adem sih, tapi saya malah sempat tertidur di tengah film ini. Haha. Mungkin karena padat data, dan banyak wawancara, jadi ya sedikit membosankan.
Kon Tiki
Yang memotivasi saya memaksakan diri menonton film ini adalah ulasan film ini. Kon Tiki adalah film yang berdasarkan kisah nyata. Tahun 1947, Thor Heyerdahl membangun rakit dan menyeberangi Samudera Pasifik dari Amerika Selatan ke kepulauan Polynesia. Dalam perjalanan, mereka harus menghadapi berbagai rintangan, dari keluar jalur pelayaran, hingga kawanan hiu. Tapi mereka juga menemukan hal-hal indah dalam perjalanan itu. Misi mereka melintasi 8000 mil itu untuk mengulangi apa yang dilakukan leluhurnya. Makanya bagi saya, film ini seperti gabungan film Prometheus dan Life Of Pi.
Saya ketinggalan sekitar 15 menit pertama sih, jadi ga ngikutin banget latar belakangnya. Hehe. Sepertinya saya cukup rugi karena gak ngikutin transformasi si tokoh utama seperti yang diulas di blog Zerosumo. Tapi saya bakal lebih rugi lagi kalau gak nonton film itu sama sekali. Udah nyampe Erasmus Huis aja udah untung sih. Soalnya pas hari Kamis mau nonton Final Cut disana gagal karena nyasar. Haha. Alamat Erasmus Huis di Google Maps menyesatkan sih. Lihat aja peta di bawah. Well, semoga tahun depan makin banyak film bagus yang saya saksikan dalam Europe On Screen. [rheza ardiansyah]
Realita Dalam Bayangan Cermin The Amazing Spiderman 2
Adalah seorang pria, namanya Mark David Chapman. Hobinya bermusik, dan menggemari benda-benda seni. Di kamarnya terpampang poster seorang pria, setia mengiringi hobinya menikmati obat bius dan ganja. Kegemaran tadi serupa dengan yang juga sering dilakukan pria di poster kamarnya, John Lennon.
Chapman adalah seorang impostor John Lennon. Ia asosiasikan dirinya bak juru vokal band The Beatles itu. Lalu tibalah suatu hari. Chapman menjadi religius, bahkan fanatis terhadap kristianitas. Ia lalu marah dengan opini bahwa The Beatles mengalahkan popularitas tuhannya. Chapman kemudian memutuskan satu pilihan tindakan: menyarangkan empat peluru ke tubuh John Lennon, setelah meminta tanda tangan sang idola.
Saya kembali duduk di depan layar raksasa. Pertarungan Electro dan Spiderman membelokkan alur pikiran saya tentang kisah tragis John Lennon. Melihat kisah Max Dillon dalam film The Amazing Spiderman 2, mengingatkan saya ke sosok Chapman di atas. Meski tak se-Chapman itu, Max dikisahkan awalnya menggandrungi si muka jaring, bahkan ia pernah diselamatkan Peter Parker bertopeng. Arah dukungan berubah ketika kemarahan Electro ke Spiderman pecah akibat kesalahan seorang polisi yang ia kira melukai atas perintah Spidey.
Sunday, March 23, 2014
Something In The Way
Oleh: Rheza Ardiansyah
"Ini bukan film tentang pornografi. Ini tentang orang yang berhubungan dengan pornografi," kira-kira demikian jawaban Teddy Soeriaatmaja ketika ditanya apa filmnya identik dengan tren film Indonesia yang katanya selalu berbumbu seks dan komedi. Penjelasan Teddy yang bernada tegas beralasan karena memang filmnya yang barusan diputar tidak demikian. Seri kedua trilogi kehidupan masyarakat urban Jakarta itu kini hadir lagi dengan judul Something In The Way.
Something In The Way berkisah tentang seorang sopir taksi bernama Ahmad (Reza Rahadian) yang hobinya bermasturbasi. Ia lakukan itu ketika menunggu penumpang, ketika sendirian di rumah susunnya, ketika di kamar mandi, hampir dimana-mana. Tapi, Ahmad ini relijius juga. Dia solat. Siang hari sebelum cari penumpang ketika malam, Ahmad menghadiri ceramah di masjid. "Film ini tentang kita yang kadang rajin pergi ke mesjid, ke gereja, ke tempat ibadah, tapi juga tetap melakukan dosa," Teddy menggambarkan di sebuah sesi tanya jawab.
Konflik dalam film ini muncul setelah Ahmad mengenal dan jatuh cinta dengan Kinar, seorang pekerja seks komersial yang ternyata tetangganya. Namun Kinar terganggu dengan cara Ahmad menunjukkan yang perasaannya. Ahmad dinilai mengusik profesi yang telah ia jalani selama 13 tahun. Ada tiga bab yang menjadi jeda sekian detik di film ini. Ketiganya berdasarkan fluktuasi interaksi Ahmad dan Kinar.
Something In The Way adalah film kedua Teddy yang digarap bukan berdasarkan pesanan. Biasanya putra mantan duta besar Indonesia di Austria ini jadi sutradara "sewaan". Setelah kenyang mengolah Banyu Biru (2005), Ruang (2006), Badai Pasti Berlalu (2007) hingga Rumah Maida (2009), Teddy menempuh jalur lain ketika menggarap Lovely Man (2011). Lovely Man kemudian mengantarkan Donny Damara, aktor utamanya, menyabet gelar aktor terbaik dalam gelaran Asian Films Awards. Film ini juga diganjar penghargaan Best Director dan Best Film di Festival Film Palm Spring AS.
Nasib serupa dialami Reza Rahadian. Berkat membintangi film Something In The Way, ia menjadi aktor terbaik versi majalah Tempo tahun 2013. Predikat yang diraih Reza memang setimpal dengan yang ia tunjukan di film berdurasi hampir 90 ini. Sosok Ahmad dalam tubuh Reza terlihat sedemikian kikuk, canggung, sekaligus emosional di saat lain. Kata Teddy sang sutradara, Reza terpilih karena permainan memukaunya di film 3 Hati, 2 Dunia, 1 Cinta.
Donny Damara hadir lagi di Something In The Way. Meski belum menonton film Lovely Man, kehadiran Donny saya rasa bisa mendistraksi sosoknya yang digambarkan berbeda di film pertama. Teddy berargumen pemilihan Donny karena ia dinilai pantas memerankan tokoh itu. Demikianlah Teddy bergaya memainkan "instrumen" dalam filmnya. Suka tidak suka itulah dia. Saya juga harus maklum ketika tokoh Pinem selalu tampil sedang menyantap mie, sehingga terkesan dia makan mie tiap waktu. Sang sutradara mengaku sadar dan memang itu yang ia ingin perlihatkan. Apapun itu, gagasan Teddy menampilkan kisah dan mendramatisasinya tetap memikat. Something In The Way saat saya menyaksikannya di Galeri Indonesia Kaya Sabtu (23/3) lalu, belum ditayangkan di bioskop Indonesia manapun. Makanya tak heran sang sutradara meminta penonton menitipkan semua ponsel dan alat rekam saat menyaksikan film itu. Jadi kapan filmnya tayang di bioskop? Entahlah, saya lupa nanya. Hehe.
The Raid 2: Berandal
Oleh: Rheza Ardiansyah
Di sebuah pematang perkebunan tebu, suatu sore, dengan langit kelabu pekat. Sebuah lubang kubur terbuka menganga, siap menyambut penghuni barunya, Andi (Donny Alamsyah). Dengan tangan terikat, ia diseret orang-orang Bejo (Alex Abbad), seorang bos mafia berkacamata hitam dengan kaki pincang. Andi dan Bejo kemudian saling lempar kata, sebelum sebuah hal mengejutkan terjadi. Demikian The Raid 2: Berandal memulai kisah.
Beberapa saat setelah mereka berpisah, Andi dan Rama (Iko Uwais) meniti kisah masing-masing. Rama mengikuti saran kakaknya Andi untuk menemui seorang polisi bersih, Bunawar (Cok Simbara). Disodori bukti kejahatan, Bunawar pesimistis. Ia tawarkan Rama sebuah peran: menyusup ke dalam organisasi mafia penguasa kota yang ada di belakang para polisi korup. Telanjur basah, Rama terima tantangan itu. Namanya kini Yuda. Di dalam sebuah penjara kemudian ia ada. Misinya, masuk organisasi mafia melalui anak pemimpinnya bernama Uco (Arifin Putra). Uco di dalam penjara mencari pengakuan. Ia sedang diproyeksikan mengganti Bangun (Tio Pakusadewo), ayahnya yang menguasai seperdua wilayah kota. Separuh lainnya dikuasai mafia pimpinan Goto (Kenichi Endo). Goto dan Bangun hidup harmonis dengan jatah wilayah masing-masing. Bejo, yang belum punya wilayah kekuasaan, berusaha memecah keduanya. Perebutan wilayah kekuasaan antar kelompok mafia itulah garis merah film ini.
Liku perebutan kekuasaan kelompok mafia dalam The Raid 2: Berandal, diwarnai drama serta audio visual yang brutal, kelam, sadis, sekaligus indah. Ada banyak "subjudul" pertempuran di dalamnya, sebut saja yang pertama dihadirkan, perkelahian di lapangan berlumpur penjara. Itu baru satu hal. Masih ada adegan adu jotos di dalam mobil yang sedang melaju, kejar-kejaran di jalan, hingga pembantaian oleh tokoh-tokoh dengan karakternya yang khas.
Penokohan yang kuat dalam film ini memperkuat kesan komikal The Raid 2. Dalam wawancaranya di majalah Tempo, sutradara Gareth Evans mengakui niatnya meng-komik-kan Jakarta. Kota dalam film ini adalah antah-berantah. Meski kita bisa mengenali kawasan Blok M, atau sekitaran Distrik Pusat Bisnis Sudirman (SCBD) Jakarta, kita bakal dikecoh ketika melihat kota yang sama bersalju. Diakui Gareth ketika menghadiri midnight show di Blitz Megaplex Grand Indonesia Sabtu (23/3) lalu, tujuannya mendinginkan Jakarta agar mendukung suasana seorang tokoh Prakoso. Sebagai Prakoso inilah Yayan Ruhiyan kini tampil. Berambut panjang terurai berantakan dan berlaga seperti gelandangan, anehnya Koso beristri cantik, seorang anonim yang diperankan Marsha Timothy. Meski tak terlalu banyak scene yang menghadirkan Koso, toh penggambaran watak ayah rindu anak itu demikian jelas. Kekuatan watak itu juga terjadi di tokoh lain. Semua hadir dengan ciri khasnya masing-masing. Bejo si anak tukang sapu jalan yang jadi bos mafia, si pria dengan stik base ball yang dengan senyum meminta bola ke musuhnya (Very Tri Yulisman), si wanita bisu bermartil dua yang ternyata kekanakan (Julie Estelle), si pria minang pendiam dengan sepasang karimbit di tangan (Cecep Arif Rahman), dan Eka (Oka Antara) si tangan kanan Bangun. Tokoh-tokoh tersebut adalah kunci dalam setiap fragmen adegan menarik dalam The Raid 2.
Film berdurasi lebih dari dua jam ini menyisakan sebuah adegan misterius di akhir. Sebuah saat ketika satu pembicaraan ditutupi musik latar yang merepetisi. Detik-detik "yang hilang" itulah jabang bayi The Raid 3. "Jika The Raid 2 berawal kisah beberapa jam setelah pertempuran di gedung, maka The Raid 3 akan menceritakan beberapa saat sebelum adegan terakhir terjadi," begitu kira-kira Gareth menjelaskan. Katanya sih sudah rampung. Saya berharap memang demikian. Semoga tak perlu menunggu bertahun-tahun buat bisa menyaksikan yang ketiga. []
Monday, March 17, 2014
300: Rise of an Empire (Perang di Lautan Darah)
Menyaksikan film 300: Rise of an Empire, seakan memasuki mimpi buruk. Yunani kala itu begitu suram. Ditambah suasana invasi kerajaan Persia dan tumpahan darah perangnya, film itu cukup kuat menghadirkan peradaban lampau yang menyeramkan. Saya sebenarnya ketinggalan 10 menit pertama. Tapi toh saya tetap bisa mengalir dalam alur cerita yang menjadi prekuel sekaligus sekuel film 300 itu. Dikisahkan kerajaan Persia pimpinan raja Xerxes ingin menginvasi Yunani, termasuk Athena dan Sparta. Sparta yang dikenal dengan manusia beringasnya seperti dikisahkan di film pertamanya yang keluar 2007, menyerang penjajah dengan 300 pasukan dan gagal karena pengkhianatan. Beda dengan film pertama yang fokus di para Spartan, kali ini film didominasi pertempuran orang Athena pimpinan Temistokles.
Temistokles adalah jenderal yang berhasil membunuh raja Darius, pimpinan Persia sebelum digantikan Xerxes. Ia memanah dari jarak jauh hingga Darius tewas. Dalam menghadapi invasi kedua Persia ke kotanya, Temistokles berhadapan dengan Artemisia, seorang panglima perang berdarah dingin yang menjadikan dendam pribadi sebagai motifnya menyerang Yunani. Artemisia sebenarnya orang Yunani, tapi keluarganya dibantai tentara sipil. Ia pun tumbuh bersama dendam, setelah seorang Persia menyelamatkan dan melatihnya bertarung. Perang antara pasukan pimpinan Temistokles dan Artemisia inilah inti kisah Rise of an Empire.
Artemisia dan Temistokles banyak bertarung di laut. Pertempuran kedua armada pun menjadi daya tarik tersendiri di film ini. Bagaimana Temistokles berstrategi dengan armadanya, bagaimana kuat dan banyaknya tentara Artemisia, tergambar indah dalam banyak gerak lambat. Kemana para Sparta? Ada. Mereka menolak bergabung dengan Athena karena merasa Sparta adalah wilayah terpisah yang merdeka. Para orang Athena yang rata-rata petani dan pujangga, kemudian harus bertarung tanpa bantuan para manusia brutal dari Sparta. Mampukah mereka menghalau Artemisia dan rajanya Xerxes?
(rhezaardiansyah)
Regenerasi ARTE
Rangkaian acara pameran seni ARTE hadir lagi. Kali ini ia datang dengan tema re:generation. Ada empat interpretasi dari tema ini. Pertama, karya-karya yang ditampilkan mewakili kondisi generasinya saat ini. Kedua, ada juga yang memaparkan kemungkinan yang terjadi di masa depan dengan karyanya. Ketiga, sejumlah karya memperlihatkan adanya jarak antar generasi. Lalu yang terakhir, ada juga yang berupaya mengenang masa lalu. Dari 400 karya yang masuk, telah lolos seleksi 72 diantaranya. Mereka lahir dari 57 orang seniman. Berikut ini akan saya ceritakan beberapa karya yang bisa saya bahas.
Seorang komikus bernama Azer menampilkan karya melalui goresan tinta diatas kertas yang berisi kritikan tentang sejumlah hal. Misalnya, tentang media sosial yang justru membuat seseorang antisosial. Ada juga tentang nostalgia super hero masa kecil yang dikaitkan dengan teknologi terkini. Azer juga menampilkan fenomena sosial yang tak hanya berkaitan dengan media sosial. Goresannya sederhana, minim warna, tapi sarat makna.
The Bomber's Heart. Demikian saya melihat karya The Popo Bertajuk D.O.A. Entah berarti doa entah maknanya dead or alive (you always be in my heart dad). Tahun lalu ayah Ryan "Popo" Riyadi berpulang. Sejumlah karya visual bernafas kenangan bersama ayah pernah ia produksi. Kali ini ia melakukannya lagi di ARTE. Ada lima adegan unik seorang ayah dan anak khas The Popo. Yang juga menyentil hati, di satu bagian Popo menuliskan kutipan kalimat ayahnya, "Tuhan memberikan surga-Nya lebih dulu di dunia kepada saya yaitu anak-anak saya".
Monday, March 10, 2014
Jejak Brutalitas Konser Teenage Death Star
Konser pertama Teenage Death Star di tahun 2014 baru dihelat. Saya beruntung jadi salah satu yang ada di tengah teriakan, lembab keringat dan bentur-gesekan rianya suasana pesta itu. Penampilan Teenage Death Star kali ini bertempat di IFI Bandung. Dua band pembuka menghangatkan amplifier.
Yang pertama Jenny Be Good. Empat orang personilnya perempuan semua. Musik yang mereka mainkan ada nuansa blues/rock n roll. Cukup atraktif, menghibur, komunikatif. Beberapa kali tawa saya tersungging mendengar candaan si mojang dengan logat sundanya yang kental.
Band kedua namanya Zaggle Griff. Kuartet pejantan ini terdengar bermusik rock alternatif. Ada nuansa emo/shoegaze/post-rock juga. Tapi entahlah apa itu nama tepatnya. Mereka ditanggapi dingin, karena mereka juga berlaku dingin diatas panggung.
Akhirnya, yang ditunggu-tunggu tiba juga. Teenage Death Star naik akhirnya panggung. Band bentukan 2002 ini langsung menggeber lagu-lagu di dari album Long Way To Nowhere, album penuh mereka satu-satunya. Sebenarnya TDS punya minialbum yang dirilis berbentuk kaset dan CD yang jadi bonus Majalah Cobra edisi perdana. Minialbum itu isinya rekaman selama akhir tahun 80an. Tapi mereka tak membawakan satu pun lagu dari sana. Lupa kata Alvin sang gitaris. Saat itu katanya terlalu banyak drugs. Haha. Tapi toh meskipun lagu yang dinyanyikan itu-itu juga, penampilan mereka tetap asik.
Berikut kamu bisa tonton sendiri suasana konsernya melalui video di bawah. Disana terlihat suasana saat lagu Absolute Beginner Terror disuguhkan. Tanpa babibu, panggung langsung rusuh. Stage diving langsung menyambut. Ya karena mungkin itu lagu terakhir, jadi suasana sudah benar-benar panas. Entah kaki siapa yang ada diatas kepala. Entah siapa lagi yang pakai topeng singa itu. Semua chaos. Saya lalu terlempar keatas panggung yang tingginya cuma selutut, lalu sadar di sebelah saya Iyo bermain bass dengan ugal-ugalan. Dia seakan lupa bahwa perban masih menempel di jidat kirinya. Iyo atau Satrio ini kepalanya dihajar oknum polisi karena dia melanggar aturan jam malam di Bandung. Lalu sadarlah saya sudah diatas. Di pojok sana Sir Dandy sudah bertolak pinggang, pasrah mikrofonnya dikuasai seorang fotografer perempuan. Pandangan saya kembali ke massa di bibir panggung, lalu reff tiba. Dengan kamera dalam posisi merekam, saya terjun bebas. Jelas saya tersungkur, lalu seseorang membangunkan, entah siapa. Rusuh lagi.
Lagu terus mengalun. Sir Dandy nampaknya malas menyanyi, atau lupa liriknya. Lalu Iyo menunjuk seseorang di hadapan saya yang menundukkan kepala di lantai panggung. Semua lalu meneriakinya. Dia sadar, lanjut nyanyi lagi dengan muka meringis dan mata tertutup. Hahaha. Gila. Sekali lagi, saya naik panggung dan loncat. Lagu tiba di interval akhir. Alvin dengan gaya superman-nya melompat ke bawah panggung. Semua menangkap dia. Iyo tak mau kalah dengan Alvin. Dia dibopong umatnya.
"We want more! We want more!" teriakan menagih encore terlontar. Tak ada yang menggubris. Lampu panggung mati. Tunggu dulu, bukan berarti tak ada apa-apa lagi di panggung. Iyo mengajak tos orang-orang yang tersisa. Dia bilang yang mau berfoto bisa naik panggung. Saat semua sudah siap diatas, yang mengajak hilang. Haha.
Dalam video di bawah ini saya sertakan juga foto-foto selama pertunjukan berlangsung. Ada visualisasi kegilaan Alvin ber-stage diving bersama gitarnya, Sir Dandy berguling-guling, Sir Dandy tampil sendirian sebagai Sir Dandy bersama "Anggur Merah" dan "Chris John"-nya, dan tentu saja yang paling epik adalah tampakan ketika semua personil Teenage Death Star menyerahkan senjatanya masing-masing untuk dimainkan penonton. Kecuali Firman di kursi drum, semua personil TDS cuma jadi penari di lagu All That Glitters Are Not Gold.
Kamu yang ketinggalan kesempatan bergila ria bersama Teenage Death Star, masih bisa hadir di panggung TDS berikutnya di Jakarta tanggal 22 Maret. Fuck Skill, Let's Rock! (rhezaardiansyah)
Saturday, February 15, 2014
Perilaku Hewani Serigala Wallstreet
Oleh: Riki Ikiw
Leonardo Di Caprio, siapa yang gak kenal dengan actor besar
ini. Mungkin dia merupakan actor besar
yang paling tidak beruntung di penghargaan Oscar, bagaimana mungkin actor
sebesar dan sekeren ini belum pernah
mendapatkan satu pun Oscar (cant you imagine that??!). Ya gw termasuk
fans berat Leonardo DiCaprio dalam urusan acting, dan gw rasa acting dia
sebagai Jordan Belford (The Wolf of Wallstreet) adalah yang terbaik setelah berperan sebagai Howard Hughes (The Aviator).
The Wolf of Wallstreet adalah kolaborasi ke-5 dengan sutradara Martin Scorsese
setelah Gangs of New York (2002), The Aviator (2004), The Departed (2006) dan
Shutter Island (2010).
Kisah ini diawali dengan seorang pialang muda bernama Jordan
Belford yang ingin kaya raya dan mencapai kesuksesan di wallstreet. Setelah
belajar dari mentornya Mark Hanna (Matthew McConaughey) bahwa sex dan narkoba
adalah hal terpenting jika ingin
semuanya berjalan lancar (gilaaaa!!). Lalu
disaat ekonomi amerika sedang krisis dia membangun Stratton Oakmon. Ya singkat
cerita Stratton Oakmon berkembang pesat dan menjadi sorotan orang-orang
wallstreet. Disini kita bisa melihat
bagaimana kegilaaan Bleford memimpin dan merekrut karyawan Stratton Oakmon.
Sick men!!!
Dari awal film sampai akhir Leonardo DiCaprio tidak akan
berhenti menularkan kepada kita semangat dan kegilaannya sebagai Jordan
Belford. Ya kita bisa lihat bagaimana DiCaprio yang sedang teler karena kokain
menyelamatkan temannya Donnie Azoff (Jonah Hill) yang tercekik karena makanan
setelah berhasil dia menepuk dadanya sendri seperti tarzan. Atau bagaimana
kehebohan DiCaprio menghadapi ombak besar sebelum kapal mewahnya tenggelam. Silahkan kalian lihat penampilan DiCaprio sebagai Jordan
Belford, dan ini penampilan terbaik DiCaprio sebagai actor.
Killers: Film Tentang Serigala Dalam Manusia
Oleh: Rheza Ardiansyah
Killers berkisah tentang seorang pembunuh di Tokyo yang hobi mengunggah video kematian korbannya ke internet. Namanya Shuhei Nomura. Dia diperankan dengan apik oleh Kazuki Kitamura. Di Jakarta, seorang wartawan ambisius bernama Bayu Adhitya frustasi karena upayanya membongkar kasus korupsi seorang pejabat selalu menemui kendala. Oka Antara pintar sekali memainkan peran Bayu ini. Dia terlihat total menjadi sosok berprestasi tapi selalu merasa dipecundangi. Pada suatu ketika, Bayu melihat video kematian yang diunggah Nomura. Pengalamannya melihat proses kematian di layar laptop beriring dengan pembunuhan yang tak sengaja ia lakukan. Adegan pembunuhan di taksi inilah yang saya saksikan di event Pop Con Asia tahun lalu. Kala itu hadirin masih buta dengan jalannya cerita dan kualitas tayangan si film, jadi ya pertanyaan mereka ke pembuat film masih terlalu dangkal. Tapi Mo Bros memberi tanda tebal di pernyataan bahwa film ini berkisah tentang sisi gelap di dalam diri manusia yang dibangkitkan situasi.
Saturday, January 25, 2014
Ernest Prakasa Analisa Kandidat Capres ala Tionghoa
Teks dan foto oleh Rheza Ardiansyah
Sekitar dua bulan sebelum pemilu tiba, komika Ernest Prakasa menutup rangkaian tur ketiganya yang bertajuk Illucinati di Jakarta. Tak hanya menyampaikan analisa jenakanya tentang para kandidat calon presiden, Ernest juga fasih mengisahkan hal personal tentang keluarga kecilnya.
Ruang auditorium Gedung Kesenian Jakarta mendadak gelap setelah komika Arie Kriting menjadi komika pembuka dan David Nurbianto meneriakkan nama pengisi acara utama. Panggung pun dikelipi beragam jenis cahaya. Lalu seorang dengan tangan terikat dan berpenutup kepala dipapah oleh dua sosok berperawakan besar. Setelah didudukkan diatas panggung, muncullah dua pemain wushu unjuk kebolehan dengan pedang dan tombaknya. Mereka menyelamatkan si tersandera. Ikatan tangan dibuka, dan muncullah sosok Ernest Prakasa setelah ia menyingkapkan diri. Aksi pembuka komika berdarah tionghoa ini bahkan dibuka dengan sesuatu yang begitu mengidentifikasi dirinya. Pun demikian dengan materi yang ia sampaikan.
Memulai dengan membahas para martir reformasi, Ernest Prakasa seakan ingin segera membuktikan janji di booklet pertunjukan bahwa ia akan "menginjak pedal dalam-dalam dan melaju lebih kencang". Artinya bisa jadi lebih nekat. Lebih tak takut terhadap respon tidak senang jika ada yang membenci materinya. Tapi sebelum benar-benar menginjak pedal gas, ayah satu anak ini mengendurkan bahasan ke persoalan sekitar pengalaman pribadinya. Potongan kisahnya selama menempuh tur Illucinati dihadirkan kembali. Lalu Ernest menghadirkan menu politik tentang arogansi pejabat hingga keberpihakannya terhadap pemberantasan korupsi. Menjembatani ke topik inti, Ernest menghadirkan si kecil Sky Tierra Solana, anaknya yang berumur empat tahun.
Subscribe to:
Posts (Atom)