Di waktu luang, akhir-akhir ini saya membaca sebuah buku catatan perjalanan. Judulnya Perjalanan Turis Siluman (2017). Di dalam buku terbitan Penerbit KPG ini, ada 51 cerita dari 61 tempat di 41 negara. Yang membuat saya tertarik beli dan baca: penulisnya Agus Dermawan T.
Pak Agus biasanya dikenal sebagai pengamat dan penulis seni rupa—salah satunya buku biografi pelukis Basuki Abdullah. Dia memang lulus dari Sekolah Tinggi Seni Rupa “Asri” Yogyakarta tahun 1976. Berbagai penghargaan pun ia raih atas fokus bidang yang ia dalami itu. Perspektif seni rupa dalam perjalanan wisata itulah yang ingin saya baca.
Lantas, kenapa judulnya “Perjalanan Turis Siluman”? Di bagian kata pengantar, Pak Agus menjelaskan bahwa maksud kata siluman, merujuk pada singkatnya durasi kunjungan ke sebuah lokasi.
“Namun kesingkatan itu menantang saya untuk menghayati sedalam-dalamnya,”
Contoh kedalaman yang saya suka, ada di catatan perjalanan ke Denmark. Penulis mengenalkan negeri ini sebagai gudangnya seniman, khususnya karikatur.
“Di Kopenhagen, di sebuah plaza yang ramai, berpraktik seorang pelukis karikatur. Ia bekerja on the spot dengan seorang model yang dipersilakan duduk di hadapannya.”
Penjelasan soal karikatur tidak hanya sedeskriptif itu. Pak Agus juga mengulas tentang skandal pembuatan karikatur Nabi Muhammad yang kontroversial. Ia pun mengkritisi dengan menyitir definisi karikatur—menurut sebuah judul naskah akademik yang disebutkan di dalam buku—bahwa sosok yang digambar harus pernah dilihat dan didalami karakternya.
“Dengan begitu, keindahan terpancar lewat kualitas moral yang tergambar.”
Referensi artistik dalam kunjungan wisata Sang Turis Siluman, juga ada lewat pemilihan tempat yang didatangi. Pak Agus mengutip pembicaraannya dengan Tio Tjay, pelukis asal Indonesia yang sudah belasan tahun tinggal di Amazon, Brazil.
Dari seniman yang dikenal dengan lukisan warna berani latin bergaya oriental itu, Pak Agus mengisahkan air terjun Iguazu. Lokasi wisata alam ini ada di tiga negara dan punya 275 air terjun, lebih megah dibanding air terjun Niagara di perbatasan AS-Kanada.
Kumpulan memori wisata dalam 390 halaman ini berasal dari kurun waktu 1991 sampai 2016. Beberapa cerita terasa sudah mengalami pemutakhiran data. Misalnya meski berkisah tentang kunjungan ke Museum Pearl Harbor Hawaii pada tahun 2011, peristiwa kunjungan PM Jepang tahun 2016—yang menandai rekonsiliasi perang Jepang-AS—juga tak luput dituliskan.
Membaca buku ini, memang seperti menyimak cerita dari kakek kita tentang sejarah, filosofi, budaya, hingga politik. Kesan “cerita kakek” itu terasa entah karena saya membayangkan Pak Agus mendongeng dengan rambut putihnya yang tersisir rapi itu, atau mungkin karena candaan khas sepuh semacam ini:
“Maskot jam abad ke-15 ini adalah patung kerangka manusia (aahh, kerangka manusia lagi!), yang ikut bergerak misterius kala jam berbunyi. Patung itu seolah berkata: ‘Pada waktunya, kamu akan seperti aku... huuuuaahahahaha!’” []
Kalau soal singkatnya durasi kunjungan ke sebuah lokasi, kebanyakan turis juga pastinya begini, tapi kalau orang semacam Agus Dermawan pasti punya kekhasan. Karena bukan cuma leisure tapi ada refleksinya.
ReplyDeleteBener. Terasa khas tulisan beliau. Saya pertama kali tau Pak Agus nulis tentang wisata, pas baca ulasan travelingnya di koran tempo. Dan format koran tempo itu--yang nambahin tulisan tambahan singkat--dipakai di buku ini.
Delete