Kemarin saya mampir cukup lama di sebuah tweet.
Apa film tentang kehidupan (bukan percintaan) yang paling sedih buat kalian sekaligus jadi pembelajaran juga?— Witra Asliga (@asliga) May 30, 2020
Boleh reply lebih dari satu ya.
I really need your answers.
Thank you
Satu per satu, saya baca juga balasan tweet itu. Menarik melihat judul-judul yang direkomendasikan banyak orang. Ada yang belum saya tonton, dimasukkan ke daftar “My List”, atau yang “rasanya nggak usah ditonton”. Beberapa di antara lainnya, ada juga yang sudah ditonton dan saya lupa gimana sensasi nonton film itu. Lalu saya buka blog ini.
Beberapa posting di blog yang dulunya bernama domain Can I Say Magz ini, memang tentang ulasan film yang saya tonton, tapi bukan sembarang ulasan. Biasanya saya berusaha menambahkan konteks.
Seseorang mendapuk Bukaan 8 sebagai film yang menurutnya “mengajarkan kehidupan”. Film itu bercerita tentang seorang pendengung di Twitter (buzzer) yang berjuang memenuhi kebutuhan kelahiran anak pertamanya. Saya nonton itu sekitar sebulan setelah anak saya lahir. Ketika itu kami sekeluarga terpisah jarak karena saya harus bertugas di Bandung.
Ada pula yang menyebut film Wonder. Saya mengingatnya sebagai pengingat bahwa semua orang punya masalahnya sendiri, seterlihat santai apapun dia. Kesan itu saya rekam pula di sebuah posting. Memang begitulah tujuan saya menulis di sini: mengabadikan kesan.
Yang di luar dugaan: tulisan dibaca banyak orang. Biasanya, satu posting dibaca kurang dari 20 orang. Bukan masalah karena artinya sejumlah itulah orang yang tertarik membaca. Tapi ada satu tulisan yang diakses 593 kali. Tentang film Oeroeg.
Awalnya saya nggak akan nulis soal itu, karena pernah dibagikan di sebuah rangkaian instagram story. Ternyata, banyaknya pengunjung ke posting itu menunjukkan bahwa berbagi hal yang sama—apalagi dari medium berbeda—sah-sah saja. Apalagi punya kedekatan dan aktualitas yang pas: rilisnya trailer film De Oost buatan salah satu dari duo Yellow Claw, Jim Taihutu—yang keturunan Ambon.
Begitu ada tantangan 31 Hari Menulis, saya merasa ini momen tepat buat giat menulis. Katanya kemampuan menulis itu seperti skill menaiki sepeda: harus terus dilatih. Apalagi keseharian saya berkaitan dengan penulisan. Klop.
Lalu, saya menerapkan beberapa kriteria. Satu, tulisan di sini sebisa mungkin harus berkaitan dengan buku, film atau musik. Dua, total katanya setidaknya berjumlah sekitar 300. Tiga, harus ditulis setiap hari. Dan inilah tulisan terakhir dalam serial 31 Hari Menulis.
Meski begitu, saya tetap bertekad menulis rutin. Kalau pun nggak sehari seposting, setidaknya di hari berikutnya ada posting lain yang menambal kekosongan hari tanpa tulisan. Jalan terus! []
No comments:
Post a Comment