Dalam wawancaranya bersama mendikbud Nadiem Makarim, Najwa Shihab
mengutip opini menteri luar negeri Singapura Vivian Balakrishnan. Kata Najwa,
pandemi covid-19 menguji kualitas sebuah bangsa dalam tiga aspek: layanan
kesehatan, pemerintahan, dan modal sosial.
“Ketiganya itu bagaikan tripod. Kalau satu nggak ada, akan timpang. Karena kalau kita lihat poin ketiga—minimal modal sosial—rasa-rasanya malah justru bertambah subur saat ini,” Najwa memancing tanya.
Menteri Nadiem kemudian menganalogikan social capital dengan istilah “kekar”. Katanya, justru nge-gym-nya
saat ini. Dalam kesempatan lain, gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil juga
menyemangati warganet dengan foto solidaritas warga menyediakan bahan makanan
untuk diambil gratis. Di foto terakhir, Ridwan Kamil bilang: “dari pembatasan
sosial kita harus bergeser ke solidaritas sosial.”
Soal modal sosial di atas, memang kita bolehlah optimistis. Toh
sebuah pemeringkatan di tahun 2018 menobatkan Indonesia jadi negara paling
dermawan. Soal dua lainnya—layanan kesehatan dan pemerintahan—itulah yang ceritanya
beda.
***
Bicara tentang aspek pemerintahan dalam menghadapi pandemi, ada
beberapa momen yang bikin pusing. Satu, soal pembatasan aktivitas. Pemerintah bingung
kondisi mana yang mau diterapkan—apakah itu darurat sipil atau karantina
wilayah. Pada akhirnya, diciptakan istilah baru: PSBB. Pemerintah ogah menanggung kewajiban memenuhi kebutuhan warga dan hewan ternak seperti yang tertulis di
undang-undang.
Dua, soal aturan mudik. Jubir istana sempat bilang boleh,
sorenya diralat sekretaris kabinet. Presiden lalu bedakan istilah mudik dan
pulang kampung. Terbaru, menhub sudah kembali bertugas dan bicara lain lagi
soal mudik—atau pulang kampung.
Dalam sebuah obrolan news
commentary, istri saya bertanya retoris: kok menteri yang aneh-aneh nggak
diganti sama presiden? Padahal kan dari kalangan profesional, jadi beban
politiknya lebih ringan. Jawaban saya singkat: begitulah watak kekuasaan. Saya lalu
bilang bahwa kesan soal kekuasaan itu terhubung ke buku yang baru khatam saya
baca: Animal Farm.
***
Animal Farm ditulis tahun 1945 oleh Eric Arthur Blair aliass
George Orwell. Ceritanya tentang sebuah peternakan imajiner di Inggris. Para binatang
di peternakan itu menggulingkan kekuasaan manusia.
“Manusia menyuruh binatang bekerja, manusia mengembalikan seminimal mungkin hanya untuk menjaga supaya binatang tidak kelaparan, sisanya untuk manusia sendiri.” (Hal. 6)
Kalimat di atas disampaikan Major, seekor babi tua yang “siapa
pun siap kehilangan waktu tidur satu jam untuk mendengarkan apa yang harus ia katakan”.
Setelah mati, Major mewariskan semangat pemberontakan ke babi dan hewan
peternakan lain. Sampai akhirnya, peternakan dikuasai para binatang di bawah
kendali tiga ekor babi: Napoleon, Snowball dan Squealer.
“Ketiga babi itu telah mengelaborasikan ajaran si tua Major ke dalam suatu sistem pemikiran yang komplet, yang kemudian mereka beri nama Binatangisme.” (Hal. 15)
Animal Farm, ditulis Orwell sebagai kritik atas pemerintahan
otoriter di Uni Soviet. Ide kesetaraan yang dipromosikan babi Major, bisa
dibaca sebagai perumpamaan sosialisme—yang juga jadi mimpi indah ideologi lain sejenis.
Binatangisme—sebagai pengembangan ajaran Major—boleh jadi simbol Marxisme yang
dicetuskan Karl Marx. Atau Marxisme-Leninisme yang dijalankan Lenin. Intinya:
angan-angan indah ternyata berbuah sengsara.
Setelah babi berkuasa di Animal Farm—sebelumnya bernama
Manor Farm—ternyata Boxer si kuda mati di usia pensiun dalam kondisi kepayahan.
Ayam-ayam petelur ternyata juga harus terus mengorbankan calon anak mereka. Ayam
betina yang mencoba berontak lalu dibantai. Sementara, tujuh aturan yang
ditulis dalam binatangisme, terus dimodifikasi buat menguntungkan para babi
yang berebut kuasa.
“Ya, sebuah perkelahian hebat tengah berlangsung. Ada teriakan, gebrakan pada meja, pandangan tajam curiga, bentakan marah. Sumber dari masalah itu, tampaknya adalah bahwa Napoleon dan Pak Pilkington masing-masing sama-sama punya kartu as sekop.” (Hal. 140)
Kartu as sekop atau ace of spades yang diceritakan di bagian
akhir novel ini, punya pemaknaan menarik. Kartu as sendiri, di masa “Middle English” bermakna
“sial”, tapi seiring dijadikan kartu bernilai paling tinggi,
maknanya jadi “high-quality, excellence”.
Ace of Spades juga terkenal sebagai judul sebuah lagu dari
band rock legendaris asal Inggris, Motorhead. Kebetulan, baru-baru ini lagu Ace
of Spades dirayakan lagi di tahunnya yang ke-40. Tanggal 8 Mei dilafalkan dalam
bahasa inggris berbunyi serupa judul lagu itu—the Eight of May. Musiknya disebut-sebut
menginspirasi lahirnya variasi lain musik rock semacam trash metal. Sementara, dalam
liriknya tertulis:
I don’t share your greed, the only card I need isThe Ace of Spades
The Ace of SpadesPlaying for the high one, dancing with the devilGoing with the flow, it’s all a game to me []
No comments:
Post a Comment