Semalam istri saya belanja.
“Hayo, Coca Cola lagi!” komentar saya spontan.
Windi sedikit muram. Saya tanggapi dengan bertanya:
“Kamu tahu ga ekofasisme?” iya, ini bukan cara bagus buat mencairkan suasana. Windi menggeleng. Paparan berikut ini juga bukan teknik terbaik menjelaskan tanpa terkesan membosankan.
Ekofasisme terdiri dari dua suku kata: eko dan fasisme. Eko memiliki makna “berkaitan dengan lingkungan”. Fasisme, berhubungan dengan keyakinan bahwa dirinya terbaik. Nazisme salah satu contohnya. Penganut ideologi itu, yakin bahwa ras mereka layak sintas. Sisanya bisa dibasmi.
Ekofasisme maksudnya, bersikap fasis atas dasar keyakinan ekologis. Seolah-olah, seorang ekofasis merasa dirinya paling ramah lingkungan. Selain dia, orang lain musti berubah atau ekstrimnya, nggak usah ada. Dan itu bahaya.
Kepada Windi, saya bilang bahwa mungkin tabiat saya punya kencenderungan serupa itu. Meskipun sedikit.
“At least aku sadar bahwa itu salah,” saya membela diri.
Windi lalu menimpali bahwa hal-hal yang di mata saya tidak ideal, ada alasannya. Seperti lazimnya semua fenomena. Permakluman atas latar belakang itulah yang pada akhirnya bisa melahirkan sikap empati.
Di masa pandemi ini, ekofasisme jelas berbahaya. Indikator kualitas lingkungan yang bernada positif seringkali ditafsirkan bahwa dunia lebih enak ditinggali. Padahal, ada jutaan nyawa manusia yang harus dibayar untuk itu. Dan seorang ekofasis tidak akan benar-benar peduli. Baginya, asalkan bumi lestari. Persetan kemanusiaan—meskipun dia sendiri manusia.
Saya lalu ingat satu baris kalimat dari puisi Joko Pinurbo. Judulnya Kamus Kecil. Dalam wawancara dengan Fenty Effendi, Najwa Shihab sebagai Duta Baca Indonesia membacakan puisi ini. Dia menambahkan, bahwa karya Jokpin dari Buku Latihan Tidur jadi representasi keindahan Bahasa Indonesia. Najwa menyitir definisi dari Sapardi Djoko Damono bahwa inti puisi itu bunyi.
Bahwa lidah memang pandai berdalih
Bahwa kelewat paham bisa berakibat hampa
Bahwa amin yang terbuat dari iman menjadikan kau merasa aman
Baris kedua itu seiring juga dengan keluhan istri saya soal ekspresi beberapa gagasan yang baru saya pelajari. Dia takut saya terlalu idealis—meskipun saya merasa cukup pragmatis. Saya takut pertumbuhan kami nggak beriring lagi. Mungkin memang beberapa hal jangan dipahami terlalu jauh. []
No comments:
Post a Comment