Bagaimana kapitalisme bekerja? Film The Platform menjelaskan. Tentu saja secara simbolik (dan belum tentu benar). Judul aslinya El Hoyo. Mari, kita baca kira-kira apa maksud beberapa adegannya. Jangan lupa, dalam tulisan ini akan ada banyak spoiler.
The Platform bercerita tentang sebuah penjara dengan desain vertikal. Jumlah tingkatnya sampai angka 300. Setiap hari, tiap sel yang dihuni dua orang akan mendapat kiriman makanan. Meja makanan itu bergerak tegak lurus juga. Dan tiap tahanan akan menerima makanan sisa penghuni di atasnya.
Beruntunglah mereka yang secara acak menempati lantai atas. Sebaliknya, sial banget kalau mereka bangun di lantai buncit. Tokoh utama kita, namanya Goreng. Sepanjang film, dia merasakan hidup di papan tengah, papan bawah, hingga papan atas.
Ketika menempati bagian tengah, Goreng berpasangan dengan seorang tahanan senior—yang dalam dua kali pemindahan lagi, akan bebas. Di bulan berikutnya, mereka pindah ke lantai bawah. Satu-satunya cara bertahan di bagian itu: jadi kanibal.
Kapitalisme bermakna, pengaturan masyarakat berdasarkan kepemilikan modal. Dalam film The Platform, tiap napi berhak memiliki satu barang yang mereka pilih untuk dibawa sebelum memasuki penjara. Goreng, bawa buku. Sementara teman sekamarnya bermodal pisau. Tebak siapa yang selamat di lantai 200an? Ternyata, Goreng.
Dia diselamatkan Miharu, seorang perempuan yang menjelajah tiap lantai demi mencari anaknya. Dalam kesempatan lain, Goreng berpasangan dengan tahanan lain yang selama 25 tahun bekerja untuk “administrator”, pengurus penjara vertikal. Namanya Imoguiri.
Imoguiri berkisah bahwa Miharu tidak mungkin punya anak—karena seseorang berusia di bawah 16 tahun dilarang menghuni penjara itu. Sebelum masuk ke El Hoyo, Miharu terobsesi jadi model. Goreng sendiri, masuk penjara (atau skema kapitalisme) demi mendapat “acredited diploma”.
Imoguiri ibarat pihak yang berwenang mengatur kapitalisme. Dalam hal ini negara—meskipun varian lain kapitalisme sebenarnya ingin mengenyahkan campur tangan negara terhadap pasar. Negara hanya tahu bahwa, tidak mungkin ada penderitaan semenyiksa Miharu: selain harus bertahan hidup, juga perlu mencari anaknya.
Nyatanya, kaum marjinal semacam Miharu memang ada. Mereka yang harus tinggal di gerobak. Miharu ada di dalam orang yang harus bertahan di kota, meskipun modal hidup mereka habis—karena dampak pandemi corona baru misalnya.
Para administrator atau koki mungkin merasa sistem kapitalisme atau penjara vertikal memang sistem terbaik. Buktinya, tiap kali meja kembali ke atas, makanan habis. Serupa halnya dengan keyakinan bahwa kapitalisme sukses menurunkan kemiskinan absolut. Padahal bukan berarti tidak ada yang dikorbankan.
Imoguiri kemudian menggagas solidaritas antar napi. Dia minta agar tahanan di bawah makan secukupnya, sesuai porsi yang sudah dia siapkan. Nggak ada yang nurut. Sampai Goreng mengancam akan mengotori makanan dari atas. Hasilnya manjur, tapi cuma mempan di satu tingkat di bawah Goreng dan Imoguiri.
Kisah berlanjut. Goreng kemudian berbagi ruang dengan Baharat. Mereka membentuk metafora pemerintah yang kita kenal dengan nama komunisme—sebenarnya lebih tepat disebut Marxisme-Leninisme.
Goreng dan Baharat naik meja, ikut turun ke tiap lantai. Barang siapa yang makan berlebihan atau menolak puasa demi menyisihkan makanan untuk lantai bawah, dihajar tongkat besi. Nyatanya, begitulah pemerintahan Uni Soviet bekerja.
Dalam buku Dari Mao ke Marcuse, Franz Magnis-Suseno mencatat jumlah kematian akibat pemerintahan komunis mencapai 60 juta jiwa, selama 74 tahun. Pemerintahan totaliter semacam itu berdalih bahwa mereka akan membagi sumber daya secara adil ke semua warga. Padahal bohong.
Goreng dan Baharat sampai di lantai dasar. Ada satu menu yang mereka sisihkan untuk dikirim balik ke dapur di lantai 0 agar dibaca sebagai sebuah pesan: bahwa ada yang tidak beres karena “tumben makanan nyisa”.
Ternyata, di sana mereka menemukan anak Miharu. Goreng dan Baharat pun sadar bahwa sebenarnya, anak Miharu itulah si pesan utama. Mereka berharap administrator akan sadar bahwa kapitalisme semacam yang mereka jalani tidak demikian sempurna. Meskipun dalam sebuah dialog, Imoguiri pernah berujar:
“The administration has no conscious.” []
No comments:
Post a Comment