Skandal watergate rasanya nggak pernah habis dibahas.
Padahal kejadiannya udah lewat hampir 50 tahun lalu. Ketika itu, ada lima orang
yang tertangkap menerobos masuk ke markas pemenangan partai demokrat dalam
pemilu tahun 1972. Lokasi kejadian itu di hotel Watergate. Ternyata, mereka
terkait dengan presiden Richard Nixon. Singkat cerita, presiden Nixon mundur
dari jabatannya pada tahun 1974.
Tiga tahun kemudian, Nixon hadir dalam wawancara yang
dipandu seorang broadcaster asal Australia. Wawancara ini banyak dipuji. Kisah
di balik wawancara kemudian difilmkan dengan judul Frost/ Nixon.
Dalam film itu, diperlihatkan bagaimana Frost menghadapi
tantangan untuk mewawancarai Nixon. Dia diminta membayar kepada narasumbernya
dalam jumlah besar: 600 ribu dolar AS. Sejumlah saluran penyiaran pun menolak "patungan" karena itu bertentangan dengan prinsip ruang redaksi mereka. Pada
akhirnya, pihak Frost bisa membayar dan wawancara dibagi tiga sesi di hari yang
berbeda-beda.
Wawancara Frost dan Nixon ibarat pertandingan tinju.
Pewawancara dibekingi produser dan periset untuk merumuskan pertanyaan jitu.
Sementara narasumber, dijaga seorang asisten yang bahkan nekat memotong proses
wawancara ketika pihaknya terancam.
Meski saling berhadapan di meja wawancara, Frost dan Nixon
berhubungan baik di belakang layar. Ada satu momen kunci yang jadi twist utama
dalam kisah Frost/ Nixon ini. Apakah sang mantan presiden berhalusinasi?
Mata Najwa
Saya pernah ada di situasi serupa: menjadi kru talkshow Mata
Najwa. Yang rasanya kurang lebih sama dengan kisah Frost/ Nixon: ketika tim
kami menghadirkan wakil presiden Boediono.
Nama Boediono ada dalam lakon skandal Bank Century. Ketika
menjabat Gubernur Bank Indonesia, ia dianggap bertanggung jawab memberikan
lampu hijau untuk menyuntikkan dana agar bank kecil Century tidak bangkrut.
Nyatanya, duit bantuan pemerintah itu dicuri. Nasabah Bank Century kehilangan
tabungan mereka.
Di film Frost/ Nixon, David memulai wawancara dengan
pertanyaan di luar dugaan. Nixon langsung ditanya tentang skandal Watergate.
“Why didn’t you burn the tapes?”
Adegan itu mengingatkan saya ke wawancara Najwa Shihab
dengan Boediono yang “slow burning”. Dalam buku Mata Najwa: Mantra Layar Kaca,
Fenty Effendy menuliskan:
“Itulah sebabnya ketika wawancara berjalan lambat, ketegangan menjalar hingga ke ruang kendali siaran di lantai empat, tempat produser dan pengarah acara memantau pergerakan kamera. Inilah jenis-jenis situasi yang bisa bikin mulas perut tim produksi Mata Najwa, termasuk Najwa Shihab sendiri.”
Meski begitu, perbincangan akhirnya mencair. Pertanyaan
tentang dugaan keterlibatan dalam Centurygate—sebutan bagi skandal politik
selalu berakhiran “gate” setelah kasus Watergate—dijawab juga.
“Begini ya. Saya ini 30 tahun menggeluti masalah ekonomi di pemerintahan. Saya sudah melihat, mengalami dan merasakan krisis, ada yang mini, menengah, besar. Ada karakterisrik tertentu yang harus kita tangani dalam situasi krisis dan saya anggap yang terjadi (pada Century) harus ditangani dengan cara tertentu, dan itulah yang saya lakukan.”
Bagian akhir wawancara Boediono, serupa dengan penutup film
Frost/ Nixon. Sebelum masuk mobil RI-2, Boediono bertanya, “Najwa, may I hug
you?”. Najwa menjawab spontan, “Yes, Pak.”
Sementara, Frost/ Nixon ditutup dengan pembicaraan empat
mata Frost dan Nixon. Presiden AS ke-37 itu bertanya tentang panggilan telepon
di sebuah malam. Dalam dunia nyata, adegan itu tidak pernah ada. Frost asli mengenang bahwa 10 persen dari film tentang wawancara Nixon itu, berupa fiksi.
[]
No comments:
Post a Comment