Tuesday, May 26, 2020

Watergate


Skandal watergate rasanya nggak pernah habis dibahas. Padahal kejadiannya udah lewat hampir 50 tahun lalu. Ketika itu, ada lima orang yang tertangkap menerobos masuk ke markas pemenangan partai demokrat dalam pemilu tahun 1972. Lokasi kejadian itu di hotel Watergate. Ternyata, mereka terkait dengan presiden Richard Nixon. Singkat cerita, presiden Nixon mundur dari jabatannya pada tahun 1974.

Tiga tahun kemudian, Nixon hadir dalam wawancara yang dipandu seorang broadcaster asal Australia. Wawancara ini banyak dipuji. Kisah di balik wawancara kemudian difilmkan dengan judul Frost/ Nixon.

Dalam film itu, diperlihatkan bagaimana Frost menghadapi tantangan untuk mewawancarai Nixon. Dia diminta membayar kepada narasumbernya dalam jumlah besar: 600 ribu dolar AS. Sejumlah saluran penyiaran pun menolak "patungan" karena itu bertentangan dengan prinsip ruang redaksi mereka. Pada akhirnya, pihak Frost bisa membayar dan wawancara dibagi tiga sesi di hari yang berbeda-beda.

Wawancara Frost dan Nixon ibarat pertandingan tinju. Pewawancara dibekingi produser dan periset untuk merumuskan pertanyaan jitu. Sementara narasumber, dijaga seorang asisten yang bahkan nekat memotong proses wawancara ketika pihaknya terancam.

Meski saling berhadapan di meja wawancara, Frost dan Nixon berhubungan baik di belakang layar. Ada satu momen kunci yang jadi twist utama dalam kisah Frost/ Nixon ini. Apakah sang mantan presiden berhalusinasi?

Mata Najwa

Saya pernah ada di situasi serupa: menjadi kru talkshow Mata Najwa. Yang rasanya kurang lebih sama dengan kisah Frost/ Nixon: ketika tim kami menghadirkan wakil presiden Boediono.

Nama Boediono ada dalam lakon skandal Bank Century. Ketika menjabat Gubernur Bank Indonesia, ia dianggap bertanggung jawab memberikan lampu hijau untuk menyuntikkan dana agar bank kecil Century tidak bangkrut. Nyatanya, duit bantuan pemerintah itu dicuri. Nasabah Bank Century kehilangan tabungan mereka.

Di film Frost/ Nixon, David memulai wawancara dengan pertanyaan di luar dugaan. Nixon langsung ditanya tentang skandal Watergate.
“Why didn’t you burn the tapes?”
Adegan itu mengingatkan saya ke wawancara Najwa Shihab dengan Boediono yang “slow burning”. Dalam buku Mata Najwa: Mantra Layar Kaca, Fenty Effendy menuliskan:
“Itulah sebabnya ketika wawancara berjalan lambat, ketegangan menjalar hingga ke ruang kendali siaran di lantai empat, tempat produser dan pengarah acara memantau pergerakan kamera. Inilah jenis-jenis situasi yang bisa bikin mulas perut tim produksi Mata Najwa, termasuk Najwa Shihab sendiri.”
Meski begitu, perbincangan akhirnya mencair. Pertanyaan tentang dugaan keterlibatan dalam Centurygate—sebutan bagi skandal politik selalu berakhiran “gate” setelah kasus Watergate—dijawab juga.
“Begini ya. Saya ini 30 tahun menggeluti masalah ekonomi di pemerintahan. Saya sudah melihat, mengalami dan merasakan krisis, ada yang mini, menengah, besar. Ada karakterisrik tertentu yang harus kita tangani dalam situasi krisis dan saya anggap yang terjadi (pada Century) harus ditangani dengan cara tertentu, dan itulah yang saya lakukan.”
Bagian akhir wawancara Boediono, serupa dengan penutup film Frost/ Nixon. Sebelum masuk mobil RI-2, Boediono bertanya, “Najwa, may I hug you?”. Najwa menjawab spontan, “Yes, Pak.”

Sementara, Frost/ Nixon ditutup dengan pembicaraan empat mata Frost dan Nixon. Presiden AS ke-37 itu bertanya tentang panggilan telepon di sebuah malam. Dalam dunia nyata, adegan itu tidak pernah ada. Frost asli mengenang bahwa 10 persen dari film tentang wawancara Nixon itu, berupa fiksi. []

No comments:

Post a Comment