Suatu hari ketika Parasite tayang di bioskop, saya lagi tugas di Bandung. Ketika itu, komunitas Layar Kita bikin screening film Memories of Murder. Sebenarnya, hari itu momen yang pas buat saya binge-watch dua film masterpiece Bong Joon-ho. Sayang, saya melewatkan Memories of Murder.
Waktu itu saya belum kepikir sebegitu pentingnya film-film Bong Joon-ho. “Penting” untuk melihat berbagai hal “berat” ditampilkan dalam sebuah cerita menghibur. Parasite dipuji karena mengejawantahkan pertentangan antar kelas—sebuah teori yang berusaha menjelaskan bagaimana peradaban bekerja.
Dalam Parasite, keluarga Kim yang miskin menjadi parasit bagi keluarga Park—dalam analisa lain, justru Park yang jadi parasit bagi Kim. Demi sintas menjalani hidup dan mengalami momen kebersamaan yang lebih mewah. Biasanya, mereka memandang ke luar jendela rumah yang separuh tenggelam. Menyaksikan pemabuk kencing sembarangan. Kali ini, ketika rumah inang mereka kuasai, pemandangan ke luar jendela lebih indah: taman serba hijau.
Ternyata, di dalam rumah yang mereka jajah, ada parasit lain. Kedua kubu ini lalu berseteru. Kondisinya bukan lagi pertentangan antar kelas, tapi perseteruan dalam kelas sosial yang sama.
Pertimbangan estetis dan filosofis itulah yang membuat kita mafhum ketika Parasite jadi film terbaik dalam perhelatan Oscar. Saya lalu berusaha nonton film-film Bong yang lain. Kali ini, The Host.
The Host berkisah tentang seekor monster yang hidup di sungai Han. Secara konotatif, munculnya monster ini bisa dikaitkan dengan pencemaran lingkungan yang ditampilkan di adegan pembuka.
Selain itu, bisa juga kita maknai si monster adalah pagebluk yang menggelayuti bangsa Korea Selatan. Itu tercermin ketika seorang warga yang hendak bunuh diri dengan terjun dari jembatan, bicara tentang “sesuatu yang gelap di dalam air”. Keputusasaan dipersonifikasi ke sosok monster.
Kehadiran monster ini, membuat sebuah keluarga miskin pemilik warung di tepi sungai Han terseret masalah. Park Gang-du—yang diperankan Song Kang-ho—harus menjalani prosedur medis yang nantinya jadi twist utama isu antiAmerika di film ini.
Tokoh Park Nam-il juga menggambarkan kritik sosial tersendiri tentang nasib sial pejuang demokrasi Korea Selatan. Anak yang semula diharapkan paling sukses karena lulus sarjana dan ketika mahasiswa ikut menumbangkan diktator, justru jadi pemabuk. Meskipun di akhir, botol soju yang selalu dia bawa ada gunanya juga. Adegan pertemuannya dengan Fat Guevara si aktivis yang jadi “budak korporat”, sarat sinisme.
Sebuah tulisan, sesumbar bahwa jika kita ingin paham kondisi sosiologis masyarakat Korea Selatan, film The Host wajib ditonton. Sebagian kecil pembacaan di atas saya kutip dari tulisan itu.
Setelah The Host, saya lagi nonton film Bong yang juga tersedia di Netflix. Judulnya Okja. []
No comments:
Post a Comment