Tindakan atau keputusan yang kita ambil, berkaitan dengan informasi yang kita terima. Nyatanya, hari-hari ini informasi tadi bisa dikendalikan. Tahun 2016, warga yang ikut pemilu di AS dibombardir informasi yang mengarahkan mereka ke satu keputusan: memilih Donald Trump sebagai presiden.
Bagaimana skema itu bekerja? Film The Great Hack menjabarkannya. Sejumlah pemilik akun media sosial facebook, mengisi kuesioner. Biasanya, kuis psikologis semacam itu dianggap asik-asikan aja. Nanti mereka akan digolongkan ke kategori tertentu berdasarkan hasil tes itu. Lalu tentu saja: dipamerkan di wall.
Yang tidak mereka sadari, alat identifikasi preferensi politik itu difasilitasi sebuah perusahaan bernama Cambridge Analitica. Berdasarkan data tadi, laman Facebook responden akan disodori informasi yang mengarahkan mereka ke dua tindakan utama: mendukung Trump jadi presiden dan setuju Brexit—Britain Exit, keluarnya Inggris dari keanggotaan Uni Eropa.
The Great Hack menayangkan testimoni mantan karyawan Cambridge Analitica. Pengakuan mereka dikonfirmasi ke CEO CA: Alexander Nix. Sayangnya dia menolak diwawancara untuk film ini. Meski begitu, ada rekaman suara, transkrip pengiriman email hingga video dari kamera tersembunyi yang mengonfirmasi aksi Cambridge Analitica.
Kondisi itulah yang diwanti-wanti sejarawan Yuval Noah Harari sebagai kondisi bernama digital dictatorship. Yang dia maksud, propaganda melalui media sosial, bisa mengarahkan kita melakukan sesuatu sesuai arahan si diktator (Google dan Facebook)—tanpa kita sadari. Karena ternyata, situasi di atas memperkuat argumennya pula perihal predikat manusia sebagai hackable animal.
Meski menyebut manusia sebagai animal—dalam konteks biologi—dalam buku Homo Deus, Yuval sebenarnya lebih banyak menekankan bahwa makhluk hidup—termasuk manusia—sejatinya adalah algoritma, sehimpun tahapan kerja. Dia menyandingkan kita serupa dengan mesin, yang berfungsi dengan arahan berurutan—input masuk, diproses, keluar output.
Gagasan bahwa makhluk hidup adalah benda mati—atau sebaliknya—pernah juga dilontarkan Kevin Kelly, seorang tech journalist. Di tahun 2011, dia mempresentasikan argumen bahwa kini, muncul kingdom ketujuh.
Kingdom yang ia maksud, berkaitan dengan sistem penggolongan makhluk—taksonomi. Lazimnya, ada 6 kingdom yang kita pelajari di sekolah:
- Animalia (hewan),
- Plantae (tumbuhan),
- Monera (sel tanpa membran inti),
- Protista (sel dengan membran inti),
- Fungi (jamur),
- Virus.
Kingdom ketujuh, bernama technium. Singkatnya, semua teknologi buatan manusia, bisa digolongkan ke sini. Dari tulang yang dimodifikasi jadi alat, sampai pesawat antariksa. Dari Turing Machine sampai Artificial Intelligence (AI).
Dalam novel Origin, Dan Brown mengutip kekhawatiran Kelly tentang punahnya spesies Homo sapiens karena teknologi. Yuval—sekali lagi—membuka kemungkinan Homo sapiens punah dan digantikan spesies lain bernama Homo deus.
Sejauh ini, yang membedakan animalia dan technium (manusia dan AI) ada di satu aspek: kesadaran atau consciousness. Sederhananya, ketika kita sadar dengan konsekuensi atas tindakan dan memutuskan berdasarkan pengalaman, saat itulah kita memanfaatkan kesadaran. Bukan cuma mengolah input sehingga output menjadi sesuatu yang terjadi secara mekanistik. Video ini menjelaskan konsep kesadaran dengan relatif mudah dipahami dalam tiga menit pertama.
Maka, kala kita menerima informasi dan terdorong untuk melakukan sesuatu, tak ada salahnya kita gunakan kemanusiaan kita: eling lan waspodo.
No comments:
Post a Comment