Sunday, May 3, 2020

Penjara

Gambaran hidup di dalam penjara, salah satunya saya baca dari novel 86 buatan Okky Madasari. Ceritanya tentang pasangan miskin yang terpaksa jadi penjual narkoba. Penyuapan sampai pemerkosaan jadi semacam perwujudan neraka dunia yang dituliskan di dalamnya. Lantas bagaimana realitanya? Bagaimana pula kondisi di negara lain?

Indonesia

Di tengah masa pandemi korona baru, pemerintah membuat kebijakan pembebasan narapidana. Bagi banyak napi, ini kabar gembira. Bahkan sempat tersebar video para napi keluar penjara sambil bergoyang ala gaya popular di media sosial Tiktok.

Lain halnya dengan seorang napi berusia 43 tahun di lapas kelas 2A Samarinda. Narapidana kasus narkoba yang sudah menjalani 2,5 tahun dari 4,5 tahun masa tahanannya itu, menolak meninggalkan hotel prodeo bersama 137 orang lain. Katanya dia sudah betah di dalam rutan. Dan dia tidak sendiri. Empat orang dari lapas yang sama mengaku sudah tidak punya keluarga di Samarinda dan merasa lebih baik ada di penjara.

Gambaran itu seakan kontradiktif jika disandingkan dengan data bahwa sistem pemenjaraan Indonesia sudah overcrowd—bukan overcapacity. Visualisasi data di bawah ini menunjukkan bahwa masalah ketersediaan ruang jadi masalah utama sistem peradilan kita—selain tentu saja problem klasik semacam implementasi “semua orang sama di mata hukum”.


Amerika Serikat

Bagi budaya barat, angka 13 dipercaya sebagai angka sial. Akibatnya, banyak gedung tidak menggunakan angka 13 di tingkat setelah 12. Tanggal 13 hari Jumat juga ditakuti sebagai hari buntung. Angka 13 ternyata juga ada dalam nasib sial warga kulit berwarna di Amerika Serikat, terkait amandemen ke-13 konstitusi AS.

Di satu sisi, perubahan itu berisi penghapusan bagi perbudakan. Namun di lain sisi, di dalamnya juga tertulis bahwa perbudakan diakui sebagai penghukuman kejahatan. Dalam praktiknya, kejahatan yang terjadi di negara paman sam seringkali bias ras.

Film dokumenter 13th menggambarkan kondisi itu. Stigma negatif warisan perbudakan kulit hitam ditanamkan melalui film Birth of the Nation (1915). Sosok warga kulit hitam dicitrakan antagonistis. Penindasan warga kulit hitam lalu berlanjut ketika Ku Klux Klan menebar teror. Pemberitaan tentang penculikan dan pembunuhan “Negro Boy” muncul di Koran.

Kisah paling menyesakkan, terjadi pada Kalief Browder, awal decade kedua abad ke-21 ini. Di usianya yang masih 16 tahun, ia dituduh mencuri. Polisi kemudian menangkapnya atas keterangan seorang saksi. Kalief lalu dipenjara sebelum diadili, selama 3 tahun. Bahkan, dua tahun di antaranya ia habiskan di dalam sel khusus.

Dalam footage yang ditampilkan dalam film berdurasi 100 menit ini, tampak Kalief mengalami penindasan berulang kali—dari sesama tahanan dan dari petugas penjara. Pada akhirnya, ia dibebaskan karena tidak cukup bukti untuk kasusnya ditindaklanjuti ke tahap pengadilan. Dalam usia 22 tahun, Kalief meninggal akibat menggantung dirinya sendiri.

Buruknya sistem pemenjaraan di AS, ditengarai terjadi karena kurungan bukan lagi jadi sarana penghukuman, melainkan bisnis. Komodifikasi politik soal warga kulit hitam, yang bercampur dengan stigma ala segregasi warna kulit, memperparah kondisi itu. Seorang aktivis dan edukator pemenjaraan, Liza Jesse Peterson, mengibaratkan sistem dan industri pemenjaraan di AS sebagai monster.
“It eats black and latino people for breakfast, lunch and dinner.”
Kondisi itu, ternyata belum banyak berubah. Yang menjadi pembeda sekarang cuma adanya handphone. Sehingga semua ketidakadilan bisa diunggah ke YouTube dan urusan itu bakal jadi perhatian dunia. Actor dan produser film Van Jones menegaskan:
“That’s was new. It’s not the protest, it’s not the brutality. It’s the fact, that we can force a conversation about it.”
Naiknya Donald Trump ke kursi presidensial justru memberi dukungan bagi white supremacist. Ketika tampil footage hitam putih tentang seorang kulit hitam dipersekusi di jalanan, perisakan lain dihadirkan berselang yang menunjukkan bahwa itu juga terjadi hari ini. Rekaman suara Trump memperkuat kesan kelam:
“In the good old days this doesn’t happen because the used to treat them very, very rough.
And when they protested once you know, they would not do it again so easily.
I love the old days.”
Semburan kebencian Trump lalu disambut musisi Common yang berduet dengan Bilal. Lagu mereka berjudul Letter To The Free, memuat kalimat:
“Shot me with your Reagan and now you wanna Trump me.”
Lagu yang sama lalu jadi penutup film arahan Ava DuVernay ini. Dalam satu penggalan lirik Common dan Bilal juga bernyanyi:
“Prison is a business America is a company, investing in injustice, fear and long suffering.” []


No comments:

Post a Comment