Saya nonton dokumenter belasan menit di Netflix berjudul Zion. Ceritanya tentang seorang difabel yang menemukan makna hidupnya melalui olah raga gulat. Di sangat berprestasi di bidang itu. Padahal sebelumnya, Zion dibuang orang tuanya. Dia juga sempat merasa rendah diri. Karena dia tidak punya tungkai bagian bawah.
Dalam sebuah narasi, diceritakan bahwa selain tidak punya orang tua, Zion juga tidak punya stabilitas dalam hidupnya. Sang narasumber menambahkan:
“That was a recipe for disaster”
Saya tergelak mendengar analogi itu. Bagaimana mungkin kegetiran seseorang diasosiasikan dengan resep. Nyatanya begitulah bangsa mereka berbahasa. Dan itu justru jadi seni penyampaian pesan yang unik. “Resep untuk sebuah bencana”. Cantik sekali.
Saya jadi ingat satu bahasan khusus di buku Gara-Gara Alat Vital dan Kancing Gigi. Buku ini ditulis Gustaaf Kusno terbitan tahun 2014. Isinya beberapa tulisan singkat sekitar tiga halaman tentang keunikan berbahasa bangsa Indonesia.
Ada delapan judul tulisan yang terhimpun dalam bab Salah Kaprah. Seksi ini menghimpun tentang anomali selama kita berbahasa. Tunggu. Saya bilang “seksi” kan tadi. Otakmu menggiring kata itu ke makna “section” atau “sexy”?
Kalau ternyata yang kedua, berarti kondisimu menguatkan analisa Gustaaf soal mudahnya khayalan erotis kita terbangun. Dia mendalami ini dalam tulisan berjudul “Kata ‘Vital’ Dalam Bahasa Kita yang ‘Saru’”.
Gustaaf menjabarkan bahwa ketika dipadankan dengan kata lain semacam “vitalitas”, “alat vital” atau “ukuran vital”, imaji erotis kita biasanya terpancing. Di situlah letak salah kaprahnya. Padahal vital bukan hanya berarti itu.
Penggunaan kata “objek vital” juga dia golongkan salah kaprah pula. Soalnya, sesuatu yang biasanya disebut objek vital justru sebenarnya “objek strategis”. Dia nggak vital-vital amat.
Meskipun begitu, paparan di atas kan pemahaman ahli bahasa. Sementara, sebagai alat komunikasi, kita nggak perlu jadi ahli juga untuk menggunakan bahasa. Saya sendiri lebih setuju ke pendirian (stance) Leila Chudori ketika ngobrol sama Ivan Lanin di podcast Coming Home. Kalau saya nggak salah ingat, Leila berkukuh pakai kata “terlanjur” (yang tidak baku) dibanding (kata baku) “telanjur”.
Kita sudah terlanjur memaknainya begitu. Ya sudah kalau kebanyakan orang lain juga pahamnya begitu, apa mau dikata? []
No comments:
Post a Comment