Beberapa hari terakhir ada dua berita tetang Cigombong yang saya tonton. Kedua video itu mengingatkan saya ke momen kunjungan di sana tahun 2016 lalu. Saat saya dan istri liburan jelang kelahiran anak kami.
Dalam liputan BBC Indonesia tentang sejarah jalur kereta Priangan, saya baru tahu kali ini bahwa ternyata area Cigombong sedemikian bersejarah. Stasiun Cigombong menyajikan pemandangan indah ke arah gunung gede-pangrango.
Waktu itu, saya dan istri diajak kawan kuliah, Rajib, datang ke satu lokasi. Tempat itu biasa dipakai kumpul anggota karang taruna setempat. Kalau malam, kata Rajib mereka biasa langsung dinaungi bintang. Ketika siang, pandangan kita diapit gunung gede-pangrango dan gunung salak di kedua arah cakrawala.
Saat babymoon kala itu, kami menginap di hotel lido. Penginapan di samping danau itu ternyata juga bersejarah. Para meneer belanda dulu berwisata di daerah itu. Ketika menginap, suasana oldies memang kental terasa.
Malam harinya, saya dan istri datang ke acara diskusi yang dimoderatori Rajib. Kami berdiskusi tentang kampung wisata. Rajib menutup acara dengan pembacaan puisi. Dia memilih puisi Widji Thukul, Peringatan. Kata “lawan!” yang ia lantangkan, ditujukan ke proyek pembangunan yang mengancam kampungnya.
Beberapa hari lalu, Washington Post memberitakan ketakutan Rajib.
NEW: Trump’s business partner exhumed graves in rural Indonesia to build resort- How poor tenant farmers in rural Indonesia are facing off against a large corporation that has connections to President Trump.— Zach Purser Brown (@zachjourno) May 14, 2020
Sejumlah kawasan di Cigombong, rencananya akan dibangunkan fasilitas rekreasi: lapangan golf, hotel, panggung musik. Beberapa wahana ini akan menjual nama Trump—pengusaha real estate yang sekarang jadi presiden AS.
Masalahnya, ada satu blok pemakaman yang dibongkar tanpa izin warga setempat. Di lain pihak, MNC selaku perusahaan rekanan Trump Residences mengaku lahan pemakaman itu miliknya dan sudah ada izin relokasi.
Cigombong nampaknya sudah ada di ambang perubahan. []
Sekelompok warga di Jakarta ini mengabaikan risiko tertular/menularkan Covid-19 demi sepotong kenangan dan romantisme sebuah gerai fastfood.Masih bingung mengapa banyak petani mengambil risiko seperti ini, meski negara/perusahaan memberi ganti rugi tanah di atas harga pasar? pic.twitter.com/yKx6X6lwfX— Dandhy Laksono (@Dandhy_Laksono) May 11, 2020
No comments:
Post a Comment