Sunday, May 17, 2020

Bumi

Pekan depan program 15 Minutes Metro TV akan menayangkan pembahasan tentang kondisi bumi semasa pandemi covid-19. Idenya berangkat dari fakta bahwa di beberapa bagian planet, situasinya memang positif. Ada rekaman citra udara yang menampilkan membaiknya kualitas udara di atas Italia dan Cina.

Di sisi lain, kondisi itu membuat manusia melihat ulang bagaimana cara kita memperlakukan tempat manusia tinggal. Pembakaran BBM membuat gas karbon dioksida dilepaskan ke udara dan menciptakan efek rumah kaca. Jadi kita seakan-akan sedang ada di dalam rumah kaca. Kepanasan.

Efek rumah kaca juga muncul karena ada kebakaran hutan. KLHK mencatat kebakaran hutan dan lahan periode Januari hingga Maret 2020 mencapai 8.254 hektar. Ini setara dengan lebih dari 15 ribu kali luas lapangan sepak bola. Dan karhutla itu hampir 55% terjadi di lahan gambut yang mudah terbakar tapi sulit dipadamkan.

Indonesia juga menjadi salah satu negara dengan tingkat pengurangan hutan terbesar. Sebesar 74 juta hektar hutan atau seukuran dua kali wilayah jepang, berkurang dalam waktu 50 tahun terakhir. Untungnya, sejak 2011 pemerintah sudah memberlakukan moratorium atau penghentian pembukaan hutan seluas 69 juta hektar.

Selain bahan bakar fosil, kebakaran lahan, dan penebangan hutan, satu lagi sumber polusi udara yang mungkin tidak kita duga. Sisa makanan yang berakhir di tempat pembuangan akhir sampah, akan menghasilkan gas metana—salah satu gas penghasil efek rumah kaca.

Our Planet

Sebelum hari ini, saya menulis tentang beberapa film produksi Netflix yang bisa ditonton bebas di YouTube. Salah satunya, Our Planet. Sesi narasi serial ini diisi wartawan/ naturalis legendaris David Atteborough.

Secara visual, gambarnya memanjakan mata. Musiknya juga selaras dengan adegan dan pesan yang disajikan: menjaga keragaman hayati di planet bumi.

Hari-hari ini, Netflix memang jadi contoh sukses paralelnya kualitas dan popularitas. Sebuah laporan mencatat, dalam 3 bulan terakhir ada 16 juta pelanggan tambahan platform penyedia film itu—termasuk saya.

Saking banyaknya katalog bagus dalam Netflix, saya menyimpan banyak judul juga di halaman My List. Katanya, rival bisnis Netflix sekarang bukan lagi layanan Over The Top (OTT) lain semacam HBO GO, GoPlay atau semacamnya. Musuh mereka: tidur. Barangkali tidak sedikit dari kita yang rela begadang demi nonton marathon (binge-watching).

Karena punya akses ke Netflix—numpang ke istri saya yang lagi suka nonton serial The King—saya jadi kepikir juga buat namatin semua tayangan di dalam My List. Untungnya saya masih sadar.

Bagi Netflix, saya dan pengguna lain paling-paling cuma angka—bagian dari 18 juta yang membanggakan di atas. Bagi saya, Netflix cuma alat buat menikmati kekayaan hidup—di waktu senggang. Melalui cerita fiksi. Lewat dokumenter. Sehingga mempengaruhi aksi saya di kehidupan sehari-hari. Rencananya sih begitu. Hehe. []

No comments:

Post a Comment