Kemarin pagi, sewaktu isi bahan bakar motor, saya disapa seseorang berbahasa sunda. Dia bertanya tentang daerah asal saya setelah mendapati huruf yang sama di pelat nomor kendaraan kami. Ternyata saya dan dia dari satu kabupaten, satu kecamatan pula.
Meski tidak mengenal sampai tahap bertukar nama, kami berbagi kisah tentang rencana pulang kampung, yang sama-sama batal. Sampai sesi itu, kami berpisah.
***
Barangkali baru kali ini krisis kesehatan begitu berdampak secara global sejak awal abad ke-20. Banyak orang tidak mengantisipasi ketika akhir tahun lalu sebuah “penyakit semacam pneumonia” dilaporkan muncul di Tiongkok. Kita tidak menyangka bahwa sindrom yang kini bernama Covid-19 ini berpengaruh luas. Dalam hal ini, terhadap tradisi mudik.
Sejarawan punya pandangan berbeda tentang muasal kata “mudik”. Ada yang bilang itu kependekan dari frasa “mulih ke udik” yang berarti “pulang kampung”. Dengan pemaknaan yang sama, ada pula yang menelusuri bahwa kata itu datang dari Bahasa Melayu.
“Makanya ada istilah hilir-mudik,”
Demikian Asep Kambali menjelaskan. Hari Rabu besok, wawancara Asep akan tayang dalam program yang saya kerjakan: 15 Minutes Metro TV. Selain soal akar kata mudik, Asep juga menjelaskan bahwa tradisi ini sudah ada sejak masa kerajaan.
Sejarawan lain sempat mengingatkan bahwa klaim bahwa “mudik terjadi di masa kerajaan” perlu lebih didalami melalui riset akademis. Meski demikian, Asep bulat berkata bahwa memang mudik ada sejak lama.
“Ketika Jayakarta dibangun, buruh didatangkan dari daerah Jawa. Begitu pula saat Batavia dibangun oleh pasukan yang dipimpin Souw Beng Kong untuk membuat kota yang dirancang Simon Melvin,”
Seiring waktu berlalu, tradisi mudik terus berlaku. Sebuah foto memperlihatkan momen ketika Bung Karno dan Bu Fat sungkem di hadapan Ida Ayu Nyoman Rai. Itu tahun 1946. Di tahun 1962 dan 1963, warga Jakarta diminta menunda tradisi ini. Musababnya, biar warga Jakarta tetap siaga demi merebut Irian Barat. Ibu kota jangan sampai kosong di masa pertempuran bersenjata itu.
Kini, pantangan serupa disuarakan, bahkan bukan cuma di Jakarta. Kecamatan tempat orang tua saya tinggal pun kena aturan PSBB. Artinya pemudik dilarang keluar-masuk. Yang boleh melintas cuma urusan kelangsungan hidup primer. Masalahnya, pelanggar aturan masih saja ada.
Jurnalis senior Usman Kansong kemudian menyampaikan pandangannya. Bahwa sebetulnya, dengan pemahaman bahwa mudarat lebih besar dari manfaat pulang kampung, mustinya pemudik urung balik. Kalau itu tidak mempan, mereka harus sadar bahwa tradisi ini urusan hati atau perasaan. Logika harus dikedepankan untuk penyeimbang.
“Virus ini urusan logika, jadi harus dilawan secara logis.”
Usman juga memberi saran bagi pengambil kebijakan. Menurutnya, kondisi pandemi saat ini dilematis. Ketika orang hendak didenda karena melanggar PSBB, ekonomi lagi lesu. Kalau dipenjara, justru para tahanan dibebaskan. Maka yang terpenting: pencegahan pelanggaran hukum lebih baik dibanding penindakan terhadapnya.
Itu dari sudut pandang pemerintah. Dari sisi kita yang warga biasa (dengan aksesibilitas teknologi), lebih baik ikuti trik yang secara spontan dilontarkan presenter 15 Minutes Wahyu Wiwoho:
“Sungkem virtual. Angpao-nya juga transfer aja.” []
No comments:
Post a Comment